Bagaimana Koperasi Sekolah Mesti Dijalankan

Senin, 07 Agustus 2023 22:04 WIB

Penulis:Pratiwi

Koperasi-Indonesia.jpg
Ilustrasi koperasi.

 

JAKARTA (sijori.id) — Belum lama ini dunia pendidkan di Jawa Timur dihebohkan dengan kemarahan sang Gubernur, Khofifah Indar Parawansa. Khofifah berang karena ada koperasi sekolah yang menjual seragam sekolah dengan harga tak masuk akal pada siswanya.

Hal itu diketahui usai seorang wali murid SMAN di Tulungagung mengeluh atas mahalnya harga seragam siswa baru yang mencapai lebih dari Rp2 juta. Khofifah pun mengancam akan mencopot kepala sekolah SMA/SMK negeri di Jatim yang masih ngeyel menjual seragam sekolah melalui koperasi.

Gubernur turut mengeluarkan moratorium penjualan seragam melalui koperasi sekolah sambil melakukan evaluasi dalam pengelolaan lembaga. Fenomena yang mencoreng nama koperasi itu disayangkan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR), Suroto.

“Kasus itu membuat koperasi seakan menjadi lembaga brengsek, memeras orangtua siswa dan membuat sengsara masyarakat,” ujar Suroto dalam keterangannya pada TrenAsia.com jejaring media sijori.id, Jumat 4 Agustus 2023.

Suroto menegaskan sekolah tidak boleh memaksa orangtua siswa membeli seragam di koperasinya, apalagi dengan harga tinggi. Hal ini karena koperasi bukan lembaga monopoli yang dapat bertindak sewenang-wenang. 

“Sepertinya ada yang salah konsep dalam membangun koperasi sekolah di Indonesia,” ujar lelaki yang juga pengamat perkoperasian itu.

Menurut Suroto, koperasi sekolah mestinya dapat membantu menyediakan kebutuhan sekolah dengan terjangkau, alih-alih mencari keuntungan besar dari penjualan tersebut. Dia menyebut hal itu bisa tercapai jika koperasi menjadi lembaga demokratis yang dimiliki seluruh pihak di sekolah. “Baik itu pejabat struktural sekolah, pegawai sekolah, guru, murid, orangtua murid bahkan alumni,” tuturnya.

Dengan jumlah murid dan orangtua murid yang mendominasi warga sekolah, Suroto menyebut koperasi mestinya harus sesuai dengan aspirasi mereka. “Bukan malah mencekik orangtua dan siswa,” ujarnya. Indonesia dapat belajar dari Kanada dalam pengelolaan koperasi sekolah.

Dalam negara di Benua Amerika tersebut, koperasi dikembangkan dalam dua model. Pertama, stakeholder sekolah seperti pejabat sekolah, guru, orangtua dan siswa menjadi pemilik koperasi sekolah. Koperasi ini bertujuan membangun kesejahteraan dan manfaat bersama serta membawa misi mengajarkan konsep koperasi yang benar dalam praktik.

Kedua, sekolah yang didirikan dan dikembangkan sebagai sebuah koperasi. Artinya para pejabat dan guru bekerja untuk sekolah yang berbentuk koperasi. Lembaga ini dimiliki secara terbuka oleh para pejabat sekolah, guru, orangtua siswa, siswa dan para alumninya.

Suroto menyebut sekolah berbasis koperasi di Kanada terbukti menjadi sekolah unggulan. Tak hanya mampu mengajarkan kemandirian, sekolah tersebut mampu memberikan tambahan ilmu pada siswa dalam mengembangkan konsep koperasi.  Orangtua siswa juga dapat memberi masukan soal kurikulum pembelajaran. “Manfaatnya begitu nyata bagi semua pihak,” ujar Suroto.

Belum lama ini pemerintah mengakui bahwa pemahaman koperasi yang benar harus ditanamkan sejak bangku sekolah. Hal itu disampaikan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso dalam National Cooperative Summit 2023 di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta akhir Juli lalu.

Susiwijono mengapresiasi pemilihan lembaga sekolah menjadi lokasi perhelatan ajang koperasi tingkat nasional. Susiwjiono mengingatkan pemikiran Bung Hatta yang menekankan bahwa koperasi harus dapat berperan dalam lembaga ekonomi dan pendidikan. “Karena itu, tepat penyelenggaraannya di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta ini,” ujarnya.

Minimnya pemahaman berkoperasi sejak dini berdampak pada acuhnya warga untuk masuk sebagai anggota koperasi. Merujuk data Kemenko Perekonomian, hingga kini baru sekitar 10% masyarakat Indonesia yang bergabung dalam koperasi. Adapun 73% dari kalangan milenial tidak pernah menjadi anggota koperasi dan hanya 6% dari mereka yang menjadi anggota koperasi.  (*)