Dari FOMO ke JOMO: Apa Itu?

Rabu, 15 Oktober 2025 08:53 WIB

Penulis:Pratiwi

fomo-jomo.jpg

(sijori.id) - Bagi banyak orang, pagi hari kini tak lagi dimulai dengan secangkir kopi, melainkan dengan menggulir linimasa media sosial. Sebagian bahkan terbangun di tengah malam untuk memeriksa notifikasi atau menghitung jumlah “suka” di foto terbaru.

Di tengah generasi yang lekat dengan gawai, ritme hidup kini ditentukan oleh notifikasi dan algoritma. Di balik kebiasaan itu, para psikolog melihat munculnya kecemasan tersembunyi: rasa takut tertinggal dari kehidupan orang lain. Fenomena ini dikenal dengan istilah FOMO (fear of missing out).

Namun, ketika banyak orang mulai lelah dengan derasnya arus informasi, muncul gagasan tandingan: JOMO, atau joy of missing out—kebahagiaan karena tidak selalu ikut dalam arus digital.

 

Menemukan Tenang di Era Digital

Konsep JOMO baru-baru ini menjadi bahan penelitian akademik internasional yang dipimpin oleh peneliti dari Washington State University bersama beberapa universitas di Turki. Hasilnya dimuat dalam jurnal Psychological Reports.

Riset terhadap 932 pengguna media sosial berusia 18–45 tahun di 29 provinsi di Türkiye menunjukkan hasil menarik. Mereka yang sengaja mengurangi waktu daring memiliki tingkat stres, kecemasan, kesepian, dan depresi yang lebih rendah, serta kepuasan hidup yang lebih tinggi.

“Orang yang menikmati waktu tanpa media sosial memiliki risiko paling rendah terhadap kecanduan digital,” tulis peneliti Adem Kantar.
“Mereka tidak mudah bosan saat sendirian dan mampu menikmati waktu tanpa butuh penonton daring. Banyak orang sibuk mengikuti kehidupan orang lain hingga lupa menjalani hidupnya sendiri.”

JOMO, menurut para ahli, mengajak orang memaknai ulang waktu dan perhatian. Jika FOMO menumbuhkan kegelisahan dan perbandingan, JOMO justru mengajarkan hadir sepenuhnya pada kehidupan nyata—tanpa rasa bersalah karena ketinggalan tren.

 

Ilusi yang Diciptakan Layar

Psikolog klinis asal Istanbul, Fazilet Seyitoglu, menilai penggunaan media sosial berlebihan bukan hanya membuang waktu, tetapi juga mengganggu kesehatan mental.

“Berada terlalu lama di dunia maya berkaitan erat dengan depresi dan kecemasan,” katanya kepada TRT World. “Ketika seseorang terus menonton kehidupan orang lain, ia mulai menelantarkan hidupnya sendiri—dan merasa kurang bahagia.”

Menurutnya, apa yang tampak di layar sering kali menipu.
“Di media sosial, semua orang tampak bahagia. Namun tak ada yang melihat pertengkaran, kesepian, atau utang di balik foto-foto indah itu. Dunia maya adalah panggung kebahagiaan semu,” ujarnya.

Kehidupan yang seharusnya bersifat pribadi kini berubah menjadi tontonan. Acara keluarga, seperti pesta bayi, pertunangan, hingga ulang tahun, kerap disulap menjadi pertunjukan kemewahan.
“Remaja perempuan merasa perlu membeli berbagai produk kecantikan agar terlihat sempurna—padahal mereka sudah cantik apa adanya,” kata Seyitoglu.

Dampaknya merambah kehidupan rumah tangga. Sejumlah pria, katanya, mengeluh karena pasangannya menuntut perhatian atau hadiah seperti yang mereka lihat di media sosial.
“Keinginan itu bukan lahir dari kebutuhan nyata, melainkan dari perbandingan. Media sosial mengajarkan orang menilai cinta dari simbol materi.”

 

Suara Generasi Muda

Kesadaran untuk keluar dari arus digital kini mulai tumbuh di kalangan muda. Seorang perempuan di Istanbul yang diwawancarai TRT World mengaku sudah enam bulan tidak aktif di media sosial.

“Awalnya terasa aneh, seperti kehilangan sebagian identitas,” katanya. “Tapi sekarang hari-hari saya lebih tenang—diisi meditasi, berjalan santai, dan waktu untuk diri sendiri.”

Ia menuturkan, tingkat kecemasannya menurun drastis.
“Saya sadar ternyata saya tidak melewatkan apa pun. Justru selama ini saya melewatkan hidup saya sendiri karena terlalu sibuk menatap layar.”

 

Belajar Bahagia Tanpa Perbandingan

JOMO mengajarkan keseimbangan di tengah dunia yang kian cepat. Alih-alih mengejar kabar terbaru, konsep ini mengajak orang menghargai momen kecil dan keheningan.

Penelitian itu menemukan bahwa mereka yang menerapkan JOMO cenderung menikmati aktivitas sederhana seperti membaca, berjalan, menulis jurnal, mendengarkan musik, atau sekadar duduk diam—tanpa dorongan untuk mengunggahnya ke dunia maya.

“Setiap orang punya hal yang bisa disyukuri,” kata Seyitoglu. “Daripada bertanya, ‘Mengapa saya tidak punya seperti orang lain?’, lebih baik bertanya, ‘Apa yang membuat saya tersenyum hari ini?’ atau ‘Kebahagiaan kecil apa yang hanya milik saya?’”

Di tengah derasnya arus digital, JOMO mungkin tampak seperti langkah mundur. Namun para psikolog menilainya justru sebagai upaya menyeimbangkan hidup—cara untuk merebut kembali keindahan sederhana yang kerap terlewatkan.

“Ketika berhenti mengejar kehidupan orang lain,” ujar Seyitoglu, “kita justru menemukan kembali kehidupan kita sendiri.” (*)