Senin, 25 Agustus 2025 09:42 WIB
Penulis:Pratiwi

BEIJING (sijori.id) — Yu, 32, pedagang daring asal Hangzhou, biasanya mengendarai Porsche 718 buatan Jerman. Namun kini, mobil sport itu digantinya dengan kendaraan listrik enam kursi buatan Li Auto, merek otomotif lokal China.
“Mobil ini lebih pintar, navigasinya lebih canggih, dan pengalaman berkendaranya lebih baik,” kata Yu, yang hanya bersedia disebut nama depannya.
Menurut dia, peralihan ke produk lokal tak berhenti pada kendaraan. “Kami pernah menghitung produk AS di rumah kami. Ternyata hanya MacBook dan iPhone, itu pun dibuat di China,” ujarnya.
Konsumen lain yang bekerja di sektor teknologi mengaku tak sulit hidup tanpa produk Amerika. “Ponsel, laptop, router, dan jam tangan saya semuanya dari Huawei, televisi saya dari TCL, AC saya dari Gree,” katanya. “Kalau produk AS memenuhi kriteria kualitas, harga wajar, dan layanan baik, saya juga akan membelinya.”
Ia menambahkan, terakhir kali melihat produk buatan AS adalah daging sapi di Costco China. “Saya tidak membelinya karena baunya amis dan pernah ada kasus penyakit sapi gila,” ujarnya.
Dari Ekspor ke Pasar Domestik
Perang dagang yang dipicu Presiden AS Donald Trump memaksa banyak produsen China mengalihkan fokus dari ekspor ke pasar domestik. Pakar mengatakan, konsumen China kini kian memilih produk lokal dibandingkan impor.
“Strategi ini bukan hanya untuk menggantikan produk AS, tetapi sebanyak mungkin produk asing,” kata Dan Wang, Direktur untuk China di Eurasia Group.
Trump kembali meningkatkan tarif hingga 145 persen sejak awal 2025, memicu ketidakpastian global. Meski pintu negosiasi disebut masih terbuka, Beijing menegaskan AS harus siap mencabut tarif jika ingin perundingan berhasil.
China juga memberi pengecualian untuk produk tertentu seperti farmasi, mesin pesawat, dan etanol AS, serta meminta perusahaan lokal mengajukan daftar barang yang harus bebas tarif.
Dampak di Dua Negara
Menurut Wang, beban utama tarif ada pada produsen China, khususnya usaha kecil-menengah yang bergantung pada ekspor. “Kebangkrutan UKM adalah ancaman nyata,” ujarnya.
Namun, bagi konsumen China, dampaknya kecil karena barang impor mudah tergantikan produk lokal. Tren menolak merek AS semakin meluas. “Saya jarang menemukan produk AS sekarang,” kata Zhu, 25, warga Shanghai.
Di sisi lain, konsumen AS diperkirakan akan menghadapi harga lebih mahal dan keterbatasan pilihan, terutama menjelang Black Friday dan Natal.
Federasi Ritel Nasional (NRF) memprediksi penurunan tajam impor AS paruh kedua 2025. Amazon bahkan sudah membatalkan sejumlah pesanan dari China dan mencari pemasok alternatif. Namun, menurut pakar, mengganti kapasitas manufaktur China sulit dilakukan dalam waktu singkat.
Hubungan Berubah
Meski kedua negara terus saling balas tarif, analis menilai AS dan China belum siap benar-benar memutus hubungan. Nilai impor AS dari China tahun 2024 mencapai 439 miliar dollar AS, jauh di atas ekspor AS ke China senilai 143,5 miliar dollar.
“Hubungan dagang ini tak bisa diputus begitu saja,” kata Wang. Namun, ia menilai ketegangan akan mengubah pola lama. “Kita akan melihat pergeseran bertahap dari hubungan yang erat sebelumnya.”
Bagi konsumen seperti Yu, perubahan itu justru memperkuat dukungan untuk produk lokal. “Zaman sudah berubah,” ujarnya. “Kalau pun ada dampaknya, itu justru membuat kami lebih mendukung merek China.” (*)
Bagikan