ERC Menemukan Bukti Ekspor Pasir Lut Merusak Lingkungan

Jumat, 02 Juni 2023 21:55 WIB

Penulis:Pratiwi

1208342_720.jpg
Ilustrasi tambang pasir laut.

 

 

 

JAKARTA (sijori.id) — Jaringan global jurnalis yang tergabung dalam Environmental Reporting Collective (ERC) menemukan bukti bahwa ekspor pasir laut merusak lingkungan, mengganggu ketahanan pangan hingga melanggar hak asasi manusia (HAM). Temuan itu merujuk hasil lapoan investigasi mereka yang berjudul Beneath the Sands.

Laporan tersebut menyoroti dampak penambangan pasir pada lingkungan dan komunitas, terutama perempuan dan anak di seluruh dunia. Diketahui, polemik ekspor pasir laut kembali mengemuka  setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.

Beleid tersebut membuka kembali keran ekspor pasir laut dari Indonesia yang sebelumnya dilarang sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri. Laporan ERC yang digarap selama setahun terakhir mengungkap dampak negatif penambangan pasir di 12 negara; dari Indonesia, Singapura, Kamboja, Vietnam, Thailand, Filipina, China, Taiwan, India, Nepal, Sri Lanka, hingga Kenya.

Pertama, tim ERC menemukan penambangan pasir yang masif, selain telah menyebabkan pulau-pulau kecil di Indonesia hilang, juga merusak daerah penangkapan ikan di Taiwan, Filipina, dan China. Di Indonesia, Majalah Tempo menemukan bagaimana penambangan pasir laut oleh PT Logo Mas Utama di perairan utama Pulau Rupat dan Pulau Babi, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, memperparah kerusakan ekosistem pesisir serta abrasi di sana.

Problem juga terjadi di Bengkulu. ERC mewawancarai sekelompok ibu yang melawan perusahaan penambangan pasir di Pasar Seluma, Bengkulu, dengan protes damai dan simbolik. Di sana, penambangan pasir laut oleh PT Flaminglevto Baktiabadi dituding mengancam ekosistem  remis-kerang laut yang merupakan sumber pendapatan dan protein bagi masyarakat adat Serawai.

Di Taiwan, aktivitas ilegal kapal pengeruk pasir laut asal China dituding bertanggung jawab atas rusaknya daerah penangkapan ikan di Pulau Penghu. Hal ini mengakibatkan tangkapan ikan nelayan setempat menurun drastis hingga hampir 90 persen. Biro Pertanian dan Perikanan wilayah Penghu mengungkap tangkapan ikan di sana turun dari 346 metrik ton di 2018 menjadi hanya 160 metrik ton di 2021.

Di China, kebijakan pemerintah yang  melarang nelayan beroperasi di Danau Poyang demi mengambil alih tambang pasir di sana, menyebabkan kerusakan daerah penangkapan ikan dan habitat yang sangat serius. Di Filipina, aktivitas ilegal penambang pasir laut telah merusak pesisir di Ilocos Sur. Penambangan pasir laut juga berdampak pada menurunnya hasil tangkapan ikan nelayan setempat.

Kedua, tim ERC menemukan penambangan pasir di seluruh dunia melibatkan jaringan mafia yang mengelola bisnis bernilai miliaran dolar. Mafia tambang pasir ini disebut-sebut terlibat dalam aktivitas yang mengancam keselamatan  jurnalis, pegiat lingkungan, dan masyarakat sipil. Beberapa dari mereka dipenjara, bahkan kehilangan nyawa. “Kami menemukan banyak kasus kriminal yang terkait aktor penambang pasir ini di Nepal, Filipina, Sri Lanka, Vietnam, sampai India,” ujar ERC dilansir dari laman investigative.earth, Jumat 2 Juni 2023. 
 

 

Kelompok Rentan

Di Bihar, India, mafia tambang pasir umumnya berasal dari kasta yang lebih tinggi. Mereka dengan paksa merampas tanah pertanian dari kasta yang lebih rendah. “Aksi mereka terkadang melibatkan kontak senjata antara kelompok mafia yang berbeda. Kami sempat mewawancarai warga sipil yang menjadi korban kekejaman mafia tambang pasir di wilayah tersebut,” ujar ERC.

Ketiga, tim ERC menginvestigasi bagaimana penambangan pasir berdampak pada kelompok rentan, seperti perempuan. Hal itu ditemukan dari hasil wawancara dengan perempuan di Indonesia, Kenya, Kamboja dan India. “Penambangan pasir bukan hanya merusak rumah mereka, tapi juga lahan pertanian dan mengancam ketahanan pangan,” imbuh ERC.

Dari rangkaian hasil investigasi tersebut, ERC menyatakan ada indikasi kuat penambangan pasir berdampak buruk pada lingkungan dan komunitas. “Apalagi tidak ada aturan atau badan global yang memonitor eksploitasi pasir, yang merupakan sumber daya kedua terbanyak yang digunakan setelah air,” beber ERC.

Pihaknya berharap temuan tersebut dapat menjadi rujukan bagi pembuat kebijakan di tingkat regional, nasional, dan global untuk membuat peraturan yang melindungi lingkungan dan kelompok rentan dari penambangan pasir yang merusak. (*)