Meski Kaya tapi Menikmati Hidup Tinggal di Hutan

Minggu, 27 Agustus 2023 14:01 WIB

Penulis:Pratiwi

walden.jpg

 

 

JAKARTA (sijori.id) - Tahun 1845, seorang pengusaha muda asal Amerika Henry David Thoreau memutuskan untuk mengubah hidupnya dengan tinggal di gubuk tepi danau Walden selama 2 tahun 2 bulan, lamanya.

Kisahnya ini kemudian ia tulis dalam buku berjudul “Walden or, Life In The Woods”.

Buku ini diterbitkan pada 9 Agustus 1854 dan sukses menjadi salah satu buku nonfiksi paling terkenal di dunia.

Buku ini ditulis selama 9 tahun. Saat pertama kali diterbitkan, buku ini hanya terjual sekitar 300 eksemplar dalam setahun. Percetakan awalnya adalah 2 ribu eksemplar dengan setiap buku yang hanya dihargai US$1 dolar.

Buku ini mulai laris terjual justru setelah sang penulis meninggal dunia.

Dikutip dari Biography, Henry David Thoreau lahir dan besar di Concord, Massachusetts. Ayahnya memiliki pabrik pensil dan ibunya memiliki bisnis penyewaan rumah. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak laki-lakinya bernama John Helen dan adik perempuannya bernama Sophia.

Thoreau berkuliah di Harvard College (sekarang disebut Universitas Harvard). Setelah lulus yaitu tahun 1838,  ia dan kakaknya mendirikan sekolah.

Sayangnya usaha tersebut tidak berjalan mulus, setelah John sakit, sekolah harus ditutup. Thoreau kemudian bekerja membantu ayahnya menjalankan bisnis pensil. 
 

 

Menyendiri di Pinggir Danau Walden

Beberapa sumber mengatakan keresahan Thoreau akan hidupnya yang materialistis di tambah kematian kakaknya membuat ia akhirnya memutuskan untuk pindah tinggal di sebuah rumah kecil dekat danau Walden sendirian.

Kala itu usianya baru menginjak 27 tahun, Thoreau memulai hidup yang sederhana dan penuh makna dari nol lagi. Ia membangun rumahnya sendirian. Untuk kebutuhan makan sehari-hari Thoreau menanam sayuran dan buah-buahan. Ia juga menanam kopi dan memperdagangkan biji kopi hasil panenan untuk memenuhi kebutuhannya.

Dalam bukunya, ia menyebut alam menjadi jendela bagi manusia untuk menemukan jati dirinya. Ia juga menyayangkan banyak manusia yang hidup kala itu seolah-olah diperbudak oleh harta benda. Ia juga merasa manusia harus mampu melepaskan hubungannya dengan materialisme agar dapat kembali ke kebahagiaan yang bisa mencukupi kebutuhan diri sendiri.

Ia tinggal di rumah itu selama 2 tahun dan 2 bulan untuk kemudian menuliskan pengalamannya dalam sebuah buku.  (*)

Tags:kaya