Ryan Menemukan Kedamaian di Vietnam

Senin, 29 September 2025 11:44 WIB

Penulis:Pratiwi

Editor:Pratiwi

ryan.jpg

VIETNAM (sijori.id) - Ini kisah Markeiz Ryan, 36 tahun. Ryan tumbuh dengan masa kecil yang menyenangkan di Maryland, Amerika Serikat. Namun krisis finansial 2008 mengubah hidup keluarganya. “Pekerjaan ibu saya hilang. Kami tidak punya jaring pengaman finansial,” kata Ryan.

Demi meringankan beban keluarga, Ryan memilih masuk militer. Ia bergabung dengan Angkatan Udara Amerika Serikat pada 2010 dan sempat ditempatkan di Korea, Jerman, hingga Afrika. Tapi karier militernya sempat goyah. Saat bertugas di Korea, Ryan melanggar jam malam. Hukumannya: dipotong gaji, diturunkan pangkat, dan dilarang keluar markas selama berbulan-bulan. “Saya sangat tertekan. Tapi dari situ saya mulai memikirkan kembali arah hidup saya,” ujarnya.

Dalam masa hukuman itu, Ryan berencana mengunjungi seorang kawan di Vietnam. Kunjungan singkat itu mengubah segalanya. “Itu perjalanan terbaik dalam hidup saya. Depresi saya lenyap,” kata dia.

Ryan kembali menuntaskan masa tugasnya di Wyoming hingga akhirnya pensiun dengan hormat pada 2019. Tidak lama setelahnya, ia memutuskan pindah ke Vietnam.

Kini Ryan tinggal di Ho Chi Minh City, di sebuah apartemen dua kamar di salah satu menara hunian tertinggi di negara itu. Biaya sewanya sekitar US$850 (Rp13,6 juta) sebulan, dengan tambahan US$130 (Rp2 juta) untuk listrik, air, dan jasa kebersihan. Dari dokumen yang diperiksa CNBC Make It, penghasilannya mencapai sekitar US$4.000 (Rp64 juta) per bulan, bersumber dari tunjangan veteran, beasiswa GI Bill, mengajar bahasa Inggris, kerja lepas, hingga perdagangan saham harian.

“Kalau di Amerika, uang segitu masih pas-pasan. Tapi di Vietnam, ini lebih dari cukup untuk hidup nyaman,” katanya.

Ryan mengaku menemukan ketenangan di Vietnam. Ia jarang merasa khawatir soal keamanan, meski terganggu oleh bising klakson, pedagang kaki lima, atau karaoke malam hari. Ia juga berusaha belajar bahasa Vietnam, meski belum fasih.

Enam tahun sudah ia menetap di sana, dan belum terpikir untuk kembali ke Amerika. “Di Amerika, sekeras apa pun bekerja, rasanya tetap berada di jurang kemiskinan. Di sini tekanannya jauh berkurang. Saya bisa fokus pada hal-hal yang benar-benar membuat saya bahagia,” kata Ryan. (*)