5 Tantangan Bisnis Bank Digital
JAKARTA (sijori.id) - Setidaknya ada 5 tantangan yang berpotensi menghambat bisnis bank digital menurut Presiden Direktur PT Bank Seabank Indonesia Sasmaya Tuhuleley.
PT Bank Seabank Indonesia, yang dimiliki oleh perusahaan asal Singapura Sea Limited tengah berupaya untuk mendulang profit dengan cara menghimpun dana masyarakat sebanyak dan secepat mungkin. Salah satu jurusnya lewat bunga harian untuk menyasar segmen yang selama ini merasa uang mereka tidak dihargai pihak bank tradisional meskipun kecil saldonya.
Perusahaan juga tengah berupaya memberikan direct lending berupa modal kerja ke para merchant ketika mereka lulus atau naik kelas kelak. Singkatnya, Seabank ingin turut menjalankan fungsi intermediasi selayaknya bank yang sudah established, tidak hanya berbisnis transaksi ritel.
“Bank digital lazimnya merugi di 2 atau 3 tahun pertama. Hal ini dikarenakan sebelum penetrasi ke pasar perlu melakukan investasi sangat besar untuk infrastruktur tenologi, merekrut banyak karyawan untuk penetrasi pasar. Mereka pada saatnya akan mencapai economic of scale ketika sudah bisa melaksanakan fungsi internmedia dan peran transactional bank secara beriringan,” kata Sasmaya dalam sebuah webinar belum lama ini, dikutip Jumat, 27 Desember 2023.
Lalu apa saja tantangan yang akan dihadapi bank digital? Berikut rangkuman TrenAsia.com
1. Belum meratanya akses internet di seluruh wilayah Indonesia
Meski sedang dibangun infrastruktur internet 4G oleh pemerintah yang nantinya akan menjangkau seluruh desa, hal ini masih menjadi kendala besar. Teknologi yang digunakan bank digital harus memungkinkan semua orang bisa mengakses bank digital bahkan lewat handphone sederhana dan jaringan internet terbatas, sehingga aplikasinya harus simple dan ringan. Menjadi tantangan ketika ingin memasukan terlalu banyak fitur dan produk dalam satu aplikasi.
2. Perlunya peningkatan kapasitas dan akses yang lebih besar kepada data kependudukan
Bank digital yang beroperasi melayani nasabah secara penuh 24/7 memerlukan akses data yang tidak terbatas pula kepada Dukcapil secara penuh 24 jam 7 hari.
3. Diperlukan pusat data untuk UMKM
Bank digital membutuhkan bank data UMKM selayaknya Dukcapl untuk mengakses data perusahaan besar maupun UMKM secara realtime dan seketika layaknya di China dan Singapura. Hal ini akan memungkinkan bank digital untuk bisa memberikan kredit kepada segmen ini. Selama ini bank digita hanya mampu menyalurkan pinjaman ritel individual dan itupun lewat kerja sama dengan fintek.
4. Peningkatan kapasitas dan akses data SLIK OJK
Dengan semakin banyak bermunculannya bank digital ke depan, akses data krusial di SLIK OJK pun diperkirakan akan meningkat secara signifikan. Untuk itu perlu peningkatan kapasitas maupun akses SLIK OJK karena akan semakin banyak data kredit masyarakat yang akan masuk ke sana.
5. Perlu regulasi khusus
Bank digital memerlukan aturan khusus sebagaimana bank syariah yang saat ini memiliki aturan sendiri sebagai cabang dari industri perbankan. Hal ini akan membuat perkembangan bank digital lebih sehat dan kuat.
Regulasi ini bisa menyentuh aspek model bisnis misalnya. Seperti diketahui, Net Interest Margin atau NIM bank digital memiliki prospek yang baik karena portofolio mereka adalah segmen dengan ticket size kecil (Rp1-2 juta) dan NPL tinggi. Lalu dari sisi efisiensi, rasio yang digunakan pun tida mengacu pada Beban Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) melainkan Cost to Income Ratio(CIR). (*)