80% Warga Jakarta Ingin Memasang Panel Surya di Rumah
PLTS Atap/Listrik Indonesia
undefinedJAKARTA (sijori.id) — Sejumlah kebijakan pemerintah dinilai bertolak belakang dengan komitmen transisi energi. Salah satu regulasi yang kontraproduktif dengan upaya menurunkan emisi dari sektor energi yakni revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 26/ 2021 yang mengatur tentang pemasangan surya atap.
Revisi tersebut mengakomodasi memo internal PLN yang membatasi kapasitas pemasangan surya atap hanya 10-15% dari kapasitas terpasang. Aturan ini dituding menghambat pengembangan energi terbarukan dalam rencana ketenagalistrikan, khususnya energi surya.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Hadi Priyanto mengatakan PLN mestinya menjalankan aturan Kementerian ESDM apabila berkomitmen melakukan transisi energi. “Namun apa yang kita lihat hari ini, PLN justru lebih berkuasa. Tidak patuh pada kebijakan yang lebih tinggi,” ujarnya, dikutip Senin, 30 Oktober 2023.
Menurut Hadi, transisi energi tidak akan bisa berjalan jika lembaga negara tidak memiliki keinginan serius untuk bertransisi melalui regulasi yang mereka ciptakan. “Harga energi surya tidak akan kompetitif,” ujarnya.
Fenomena belakangan ini dinilai ironis mengingat Indonesia sebagai negara dengan skala geografis yang cukup besar memiliki berbagai macam potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan optimal. Dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun, Indonesia memiliki potensi 3.295 GW energi surya yang bisa mencukupi kebutuhan energi seluruh negeri.
Koalisi mendesak keseriusan pemerintah dalam implementasi transisi energi. Gelombang investasi yang besar juga harus dibarengi dengan payung hukum dan kemauan politik untuk melepas ketergantungan pada jebakan energi batubara.
Survei Greenpeace tahun 2020 menemukan lebih dari 80% warga Jakarta ingin memasang panel surya di rumahnya. Dengan tingginya antusiasme tersebut, pemerintah mestinya segera membuat regulasi yang berpihak pada energi energi terbarukan di masyarakat.
Yohanes Sumaryo dari Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengatakan salah satu daya tarik dalam memasang PLTS atap adalah adanya ketentuan net metering. Namun pemerintah mewacanakan untuk menghapus ketentuan net metering ini pada revisi Permen ESDM 26/2021 tersebut.
Yohanes menjelaskan net metering adalah bentuk insentif pemerintah agar masyarakat umum tertarik memasang PLTS atap yang harganya relatif masih mahal dibanding biaya langganan listrik PLN.
“Dengan net metering, koefisien perbandingan ekspor-impor menjadi 1:1. Maka tingkat pengembalian modal atau payback period pemasangan PLTS atap bisa berkisar antara 4-5 tahun,” jelasnya.
Balik Modal Lebih Lama
Yohanes mengatakan ketiadaan net metering akan menyurutkan minat calon pelanggan untuk memasang PLTS atap. “Dengan revisi Permen ESDM No. 26/2021 di mana ekspor listrik ke grid PLN ditiadakan, maka orang yang mau memasang PLTS atap terpaksa harus membeli baterai penyimpan energi yang cukup mahal,” ujarnya.
Hal itu, imbuhnya, berdampak pada tingkat pengembalian modal yang lebih lama yakni menjadi 9-10 tahun. “Ini menyebabkan banyak orang yang mengurungkan niatnya memasang PLTS atap,” ungkapnya.
Kebijakan yang berubah-ubah bahkan cenderung membatasi partisipasi masyarakat dalam transisi energi dinilai berbanding terbalik dengan fasilitas kebijakan yang didapat oleh para oligarki.
Menurut Suriadi Darmoko, Pengkampanye 350 Indonesia, PLTS atap selain dapat menggalang partisipasi publik juga merupakan jalan pintas mengejar target bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan.
Reka Maharwati dari Enter Nusantara mengatakan transisi energi selain memastikan sumber energinya beralih dari fosil ke energi terbarukan juga penting memastikan ada diversifikasi kepemilikan.
“Selama ini orang muda selalu diberikan motivasi untuk menjadi agent of change, namun kebijakan yang dihadirkan oleh pemerintah belum juga mendengar aspirasi orang muda yang ingin mendorong perubahan ke arah yang lebih baik untuk generasi mendatang,” kritiknya. (*)