Gas Bumi Memiliki Peran Strategis dalam Proses Transisi ke Renewable Energy
JAKARTA – Gas bumi akan tetap menjadi energi strategis ditengah berkembangnya energi baru terbarukan, seperti panas bumi, angin dan matahari. Gas bumi juga akan memiliki peran sentral dalam proses transisi energi dari energi fosil menuju energi baru yang dinilai lebih ramah lingkungan.
Hal tersebut disampaikan oleh Arcandra Tahar, Komisaris Utama PGN dalam diskusi energi bersama Arcandra Tahar bertema Prospek Gas Bumi Ditengah Tren Renewable Energy. Kegiatan diskusi rutin yang digelar secara live melalui Zoom, FB dan IG pribadi wakil menteri ESDM 2016-2019, akhir pekan lalu, 10 September 2021.
Arcandra mencontohkan peran gas bumi ditengah upaya pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Mengingat, biaya yang cukup mahal jika berdiri sendiri, dalam operasionalisasinya PLTS atap masih akan membutuhkan bantuan baterai atau sumber energi lain.
Fungsi gas atau baterai disini adalah sebagai energi primer yang akan menyokong penerapan PLTS atap ketiga energi dari matahari drop. Dengan harga gas yang lebih kompetitif, lanjut Arcandra, kombinasi gas bumi dan PLTS akan lebih efisien dibandingkan dengan penggunaan baterai.
"Secara komersial mestinya penggunaan gas bumi dalam pengembangan PLTS akan lebih kompetitif daripada penggunaan baterai. PGN dapat membangun sinergi dengan PLN untuk menjalankan strategi ini," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, ia mengatakan bahwa pasar gas bumi masih sangat lebar. Seperti halnya yang kini sudah dan sedang dilakukan oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dengan mensuplai kebutuhan gas bagi industri kilang minyak (refinery) yang dikelola oleh Pertamina.
Sejumlah kilang minyak yang mendapat suplai gas dari PGN adalah kilang minyak Cilacap, Balongan dan kilang lainnya.
Untuk mendukung pemenuhan gas bagi industri kilang tersebut, PGN tengah membangun sejumlah infrastruktur menuju lokasi kilang. Langkah ini dilakukan melalui pembangunan infrastruktur seperti storage dan regasifikasi melalui fasilitas seperti Floating Storage Regatification Unit (FSRU).
"PGN akan terus mengoptimalkan pasar-pasar eksisting melalui kolaborasi dengan Pertamina sebagai holding migas. Termasuk juga masuk ke industri petrokimia, dimana gas bumi dibutuhkan untuk memproduksi metanol dan amonia yang pasarnya terus meningkat," papar dia.
Arcandra menambahkan, kebijakan sejumlah negara untuk beralih ke energi baru terbarukan harus dicermati dengan baik. Terutama berkaitan dengan upaya pemenuhan zero carbon di tahun 2050 oleh sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Uni Eropa.
AS bersama Uni Eropa, Jepang dan Korea sudah memiliki komitmen untuk mencapai zero emisi pada tahun 2050, sekitar 29 tahun lagi. Sebagai usaha mewujudkan komitmen itu, Uni Eropa dan beberapa negara tersebut sudah mulai fokus pada pengembangan renewable energy.
Karena itu, ia menilai pentingnya mempersiapkan masa transisi menuju renewable energy. Periode 29-30 tahun ke depan adalah kunci. Jika perusahaan migas mengurangi eksplorasi dan produksi migasnya, tentu ini akan menjadi tantangan baru. Karena menggantikan energi fosil dengan renewable energy tidak semudah yang dibayangkan.
Proyeksi OPEC, sampai tahun 2040 kebutuhan minyak dunia akan bertambah sekitar 20 juta barel per hari dari kebutuhan tahun 2020 yang sebanyak 90 juta barel per hari. Sementara, kehadiran kendaraan listrik diproyeksikan hanya akan mengkonversi penggunaan BBM sekitar 6 juta barel per hari di seluruh dunia pada 2040.
"Sebagai energi bersih yang ramah lingkungan, harga kompetitif dan sumbernya masih sangat besar, gas bumi seharusnya menjadi bagian penting dalam proses transisi energi di Indonesia. Proses itu tentunya tidak mudah.”
“PGN sebagai perusahaan yang sudah bertahun-tahun mengambil peran paling depan dalam pengembangan infrastruktur dan pemanfaatan gas bumi harus mampu mengoptimalkan peluang itu," tutup Arcandra.