ICIR Gelar Konferensi Internasional Ke-5 di Solo
SURAKARTA - Intersectoral Collaboration for Indigenous Religions (ICIR) “Rumah Bersama” menyelenggarakan Konferensi Internasional ke-5 di PUI Javanologi Universitas Sebelas Maret selama dua hari, 22-23 November 2023. Dalam acara bernama The 5th International Conference on Indigenous Religions (ICIR) mengangkat tema “Democracy of the Vulnerable” yang merupakan kelanjutan dari tema sebelumnya.
Tema tersebut sekaligus sebagai respons jelang Pemilihan Umum pada 2024 mendatang. ICIR mengkritisi soal demokrasi elektoral yang nyatanya selalu terjebak pada aspek seremonial, mengedepankan sentimen identitas warga berbasis mayoritas-minoritas. Oleh karenanya, polarisasi sosial cenderung tak terhindarkan, yang justru menciptakan kerentanan demokrasi meskipun demokrasi selalu diwacanakan sebagai pesta rakyat.
“ICIR ke-5 bermaksud untuk membuka ruang bagi penghayat kepercayaan, komunitas adat, penganut agama leluhur, minoritas agama dan gender, kelompok disabilitas, dan kelompok muda dan anak, agar ide tentang dan pengalaman mereka terkait demokrasi terwacanakan.” kata Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Samsul Maarif atau Anchu dalam keterangannya, Selasa 21 November 2023.
Anchu mengatakan bahwa kerangka berpikir utama dari ICIR ke-5 ini ialah menyelisik demokrasi dan berbagai kerentanannya dari perspektif kelompok rentan. Dirinya menjelaskan bahwa kerangka tersebut juga mengedepankan pergulatan keseharian warga dalam menghadapi dan menjalani kehidupan kewargaan sebagai isu utama demokrasi.
Terkait dengan kelompok rentan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut mereka ialah kelompok orientasi seksual dan identitas gender, minoritas ras, minoritas etnis, minoritas orang dengan disabilitas, serta minoritas agama, dan keyakinan. Kelompok rentan inilah yang menjadi prioritas Komnas HAM di Indonesia
Soroti KUHP
Dalam acara tersebut, ICIR menggelar serangkaian acara selama dua hari. Acara tersebut terbagi dalam sesi plenary dan sesi parallel dimana seluruh sesi plenary menyoroti disahkannya KUHP baru (UU No. 1/2023).
Adapun hal yang disoroti terkait bab baru yang memuat enam pasal tentang “Pelanggaran Terhadap Agama, Keyakinan, dan Keagamaan Kehidupan atau Keyakinan”, serta beberapa pasal lain yang secara tidak langsung berkaitan dengan agama atau kepercayaan.
Sesi plenary hari pertama mengusung tema The Living Laws in The Penal Code: Recognition or Restrictions of Adat Communities (Hukum yang Hidup dalam KUHP: Pengakuan atau Pembatasan Masyarakat Adat).
Sesi tersebut menghadirkan Anchu dan tiga pembicara lain, yakni Sulistyowati Irianto dari Universitas Indonesia (UI), Dewi Kanti dari Komnas Perempuan, dan Tommy Indriadi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dengan moderator Zainal Bagir dari ICRS.
Pada hari kedua, terdapat dua sesi yang bakal dilangsungkan. Sesi pertama mengusung tema Freedom of Expression in The New Penal Code atau Kebebasan Berekspresi pada KUHP Baru. Sesi pertama ini menghadirkan Herlambang P. Wiratawan dari Fakultas Hukum UGM, Johanna Poerba dari ICJR, Mohamad Iqbal Ahnaf dari CRCS UGM, dan Leonard C. Efapras dari ICRS, serta bertindak sebagai moderator adalah Erasmus Napitupulu dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Kemudian sesi kedua mengusung tema Offence Related to Religion or Belief in the New Penal Code: Protecting Whom? atau Pelanggaran terkait Agama atau Keyakinan pada KUHP Baru: Melindungi Siapa? Sesi ini menghadirkan Uli Parulian Sihombing dari Komnas HAM, Asfinawati dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, dan Zainal Abidin Bagir dari ICRS.