IDI: Timbal adalah Logam Berat dengan Tingkat Toksisitas Serupa dengan Sianida

Pratiwi - Minggu, 22 Oktober 2023 12:42 WIB
Ilustrasi logam timbal.

JAKARTA (sijori.id) - Paparan timbal dari produk yang digunakan sehari-hari rupanya sangat berdampak besar pada kesehatan dan lingkungan. Bahkan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebutkan bahwa timbal adalah salah satu logam berat dan dengan tingkat toksisitas yang serupa dengan sianida.

Sekretaris IDI dr. Ulul Albab mengatakan, bedanya sianida dengan timbal hanyalah dari segi kecepatan efeknya.

Timbal dapat memberikan efek yang pelan tapi sama mematikannya dengan sianida. Sementara itu, sianida dapat memberikan efek yang lebih cepat.

"Pelan-pelan ini yang menyakitkan karena efeknya luar biasa," kata Ulul melalui keterangan yang diterima TrenAsia, dikutip Jumat, 20 Oktober 2023.

Ulul juga menjelaskan bahwa timbal bisa menempel pada berbagai zat yang dapat masuk ke tubuh manusia melalui udara, air, dan makanan tanpa disadari.

Dikatakan oleh Ulul, Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) melaporkan bahwa pada tahun 2013, terdapat sekitar 853.000 kematian yang disebabkan oleh paparan timbal jangka panjang dengan angka tertinggi terjadi di negara-negara berkembang.

Ia menambahkan, dampak paparan timbal tidak langsung terasa, tetapi dapat terasa lebih nyata pada kemudian hari. Penyakit jantung, gangguan pencernaan, anemia yang langka, gangguan hati, ginjal, dan masalah mental semuanya dapat disebabkan oleh timbal.

"Timbal itu menetap dalam tubuh bisa sampai 25 tahun," tegasnya.

Bahaya timbal ini disebut Ulul lebih serius daripada stunting. Oleh karena itu, IDI telah mengeluarkan rekomendasi untuk upaya pencegahan paparan timbal di tempat kerja dan masyarakat umum di Indonesia.

"Kami, melalui Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (Perdoki), tidak hanya melakukan pemeriksaan pasien, tetapi juga memberikan rekomendasi kepada industri tentang penggunaan timbal," jelas Ulul.

Salah satu rekomendasi utama IDI adalah menghentikan penggunaan timbal dan mencari alternatif yang lebih aman. Kampanye "Indonesia Bebas Timbal" juga telah didukung oleh pemerintah.

"Kita harus berani mengkampanyekan Indonesia bebas timbal, kenapa saya pakai tahun 2045 karena timbal bisa dalam tubuh manusia 25 tahun, tapi mulainya bukan 2045 tapi harus sekarang kalau tidak sampai kiamat tidak akan kita bebas timba," tambahnya.

Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Rofi Alhanif, juga setuju dengan pendekatan ini. Pemerintah dikatakan Rofi telah berkomitmen untuk mengurangi penggunaan timbal dalam industri demi melindungi masyarakat dari dampak negatifnya.

"Saya kira mungkin sampai saat ini kehadiran timbal dari berbagai industri tidak bisa 100% dihilangkan, kami dengar sudah banyak sekarang alternatif pengganti timbal tersebut, namun nampaknya belum bisa diakses oleh seluruh industri," ujar Rofi.

Menurut data dari UNICEF, lebih dari 8 juta anak di Indonesia memiliki kadar timbal dalam darah di atas 5 mikrogram per desiliter (μg/dL), dan ini dapat berdampak buruk pada kesehatan anak-anak, masyarakat, dan bahkan bisa berakibat fatal.

Menurut Rofi, pemerintah berharap Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dapat mengembangkan teknologi yang dapat menggantikan timbal dalam proses industri untuk meminimalkan dampak negatifnya.

Kemenko Marves pun dikatakannya mulai memberikan apresiasi kepada industri yang telah berupaya mengurangi penggunaan timbal dalam proses produksi demi keberlanjutan kehidupan manusia.

Kemenperin juga mendukung industri dalam negeri yang telah mulai beralih menggunakan bahan baku yang tidak mengandung timbal. Saat ini, sudah ada produsen bahan baku nontimbal untuk industri.

Ketua Pokja Industri Logam Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin Ginanjar Mardhikatama mengatakan, bahan baku pengganti timbal itu sudah diproduksi dalam negeri, misalnya dari PT Timah Industri (TI) yang sudah bisa memproduksi tin stabilizer, namun karena rendahnya penyerapan dari industri dalam negeri, mayoritas produknya diekspor ke luar negeri.

Dalam seminar nasional ini, Kemenperin juga mendorong kerja sama antara industri yang menggunakan tin stabilizer, seperti industri pipa PVC (PolyVinyl Chloride), dengan PT Timah Industri sebagai produsen tin stabilizer.

"Sama-sama mutual benefit, jadi PT Timah tidak perlu mengekspor dan kebutuhan dalam negeri terpenuhi tanpa perlu impor tin stabilizer itu sendiri," kata Ginanjar.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa Indonesia telah mengimpor sekitar 41.016 ton timbal dari Korea Selatan, Myanmar, dan Australia antara tahun 2022 dan 2023.

Kepala Subdit Penetapan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) KLHK Yunik Kuncaraning menyebutkan bahwa penggunaan timbal paling tinggi di indutri baterai dengan persentase hingga 86%.

Yunik menyampaikan, KLHK saat ini sedang merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, dengan tujuan mengkategorikan timbal sebagai B3 yang memiliki penggunaan terbatas.

Menurut Yunik, pemerintah sedang berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan cara merevisi peraturan bersama Kemenperin. Tujuannya adalah mengubah kategori timbal dari 'dapat digunakan' menjadi 'terbatas dalam penggunaannya'.

Selain itu, rencananya akan dibentuk tim kerja yang melibatkan berbagai pihak terkait untuk serius menangani masalah timbal.

"Kami berencana membentuk tim kerja yang terdiri dari para pemangku kepentingan terkait, sehingga timbal ini menjadi konsen kita bersama. sehingga kita bisa bekerja bersama-sama sehingga bisa menghindari timbal ini agar tidak berdampak bagi lingkungan," pungkas Yunik. (*)

Editor: Pratiwi
Tags timbalBagikan

RELATED NEWS