Jejak Proto-Indo-Eropa, Leluhur Bahasa yang Hilang
(sijori.id) - Jika Anda pernah belajar bahasa-bahasa Eropa, mungkin pernah menjumpai sejumlah kata yang terdengar akrab. Kata mort dalam bahasa Prancis (mati) mengingatkan pada kata Inggris murder. Hund dalam bahasa Jerman berarti anjing, dekat dengan hound. Bahasa Ceko punya sestra yang mirip dengan sister. Bahkan bahasa Albania mengenal kau yang artinya sapi jantan.
Apakah semua kesamaan itu kebetulan?
Tidak selalu. Sejumlah kata memang serupa karena dipinjam lintas bahasa, seperti igloo dalam bahasa Inggris yang berasal dari Inuktitut iglu (rumah), atau wok dari Kanton. Ada juga kemiripan murni kebetulan, seperti bahasa Thai fai (api) dengan fire dalam bahasa Inggris.
Namun, contoh kata di atas tidaklah kebetulan. Mereka adalah kata serumpun—cognate—yakni kata-kata yang punya asal-usul sama, diturunkan dari satu bahasa nenek moyang.
Bahasa purba ini, yang kini punah, diperkirakan pernah dituturkan di kawasan Eurasia sekitar 8.000 tahun silam. Karena lahir jauh sebelum sistem tulis, tak ada catatan langsung tentang kosa katanya. Para ahli bahasa kemudian merekonstruksi strukturnya dan menyebutnya Proto-Indo-European atau disingkat PIE.
Bukti Awal
Kesadaran akan kekerabatan bahasa Indo-Eropa mulai muncul pada masa Renaisans hingga kolonial. Sarjana Eropa di India seperti Gaston Coeurdoux dan William Jones tercengang saat menemukan kesamaan kata Sanskerta—mā́tṛ (ibu), bhrā́tṛ (saudara laki-laki), dúhitṛ (anak perempuan)—dengan kata Latin, Yunani, dan Jerman.
Kesamaan itu terlalu sistematis untuk disebut pinjaman atau kebetulan. Misalnya, awalan bh- dalam Sanskerta selalu berkorespondensi dengan b- dalam bahasa Jermanik, dan p- dalam Sanskerta selaras dengan f- dalam Jermanik.
Kesimpulannya jelas: bahasa-bahasa ini berasal dari satu leluhur bersama yang kemudian bercabang menjadi ragam bahasa berbeda.
Pada abad ke-19, ahli bahasa seperti Rasmus Rask, Franz Bopp, dan August Schleicher menyusun metode perbandingan. Dari perubahan sistematis di tiap bahasa, mereka mampu merekonstruksi bentuk kata yang pernah ada di bahasa leluhur. Temuan ini meletakkan dasar bagi linguistik historis modern, bahkan ikut mengilhami teori evolusi Darwin.
Satu Keluarga Besar
Seperti halnya genus dalam biologi, bahasa Indo-Eropa dipahami sebagai satu keluarga besar. Dari induk PIE lahirlah cabang-cabang bahasa: Indo-Arya (Sanskerta, Hindi), Iran (Persia, Kurdi), Hellenik (Yunani), Italik (Latin, Spanyol, Italia), Jermanik (Inggris, Jerman, Belanda), Balto-Slavia (Rusia, Lituania), hingga Keltik (Welsh, Breton). Termasuk pula Armenia dan Albania.
Cabang yang punah, seperti Het (Hittite) dan Tokharia, hanya diketahui lewat catatan tertulis. Ada juga bahasa seperti Frigia atau Trakia yang diyakini termasuk Indo-Eropa, meski bukti kurang lengkap.
Namun, tidak semua bahasa di India atau Eropa termasuk rumpun ini. Di India ada bahasa Dravida (Tamil, Telugu), sementara di Eropa ada Basque, Georgia, Malta, dan Finlandia yang berbeda sama sekali.
Menyingkap Kehidupan Penuturnya
Rekonstruksi kosakata PIE juga membuka jendela pada kehidupan penuturnya. Mereka mengenal pertanian gandum, peternakan kambing dan sapi, transportasi dengan kereta dan poros roda, hingga teknologi logam seperti tembaga dan perunggu. Ada istilah untuk raja (rēg-), benteng (pelə-), perdagangan, dan doa.
Dari sini, arkeolog seperti V. Gordon Childe mengaitkan PIE dengan budaya Kurgan di stepa Pontik-Kaspia (Ukraina–Rusia selatan). Studi lain mengajukan Anatolia (Turki modern) sebagai tempat asalnya, dengan pertanian sebagai motor penyebaran.
Meski bahasa purba itu lenyap tanpa jejak tertulis, pola di bahasa keturunannya masih menyimpan “bayangan” nenek moyang. Lewat jejak itu, para ahli terus berusaha merekonstruksi sejarah linguistik umat manusia. (*)
