Kenalkan Maria Corina Machado, Peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2025

Pratiwi - Sabtu, 11 Oktober 2025 20:34 WIB
null

(sijori.id) - Politikus oposisi Venezuela, Maria Corina Machado, yang sebelumnya dilarang ikut dalam pemilihan presiden tahun lalu, dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian 2025 atas perjuangannya yang konsisten membela demokrasi di negaranya.

Ketua Komite Nobel Norwegia, Jorgen Watne Frydnes, dalam pengumuman di Oslo, Jumat (10/10/2025), menyebut penghargaan itu diberikan kepada “seorang perempuan pemberani dan teguh dalam memperjuangkan perdamaian, yang terus menyalakan api demokrasi di tengah kegelapan yang kian pekat.”

Komite Nobel menilai Machado layak menerima penghargaan karena “upayanya tanpa henti dalam memperjuangkan hak-hak demokratis rakyat Venezuela serta perjuangannya mewujudkan transisi damai dari kediktatoran menuju demokrasi.”

Machado, yang dikenal sebagai “Iron Lady” Venezuela, menjadi perempuan ke-20 dari total 143 penerima Hadiah Nobel Perdamaian sejak penghargaan itu pertama kali diberikan pada 1901. Dalam sebuah video yang dibagikan tim medianya, perempuan berusia 58 tahun itu mengaku terkejut mendengar kabar tersebut.

“Saya benar-benar terkejut!” ujarnya dalam percakapan telepon dengan Edmundo González Urrutia, tokoh oposisi yang menggantikannya sebagai calon presiden setelah ia dilarang maju.

Profil Maria Corina Machado

Maria Corina Machado Parisca lahir di Caracas pada 7 Oktober 1967. Ia merupakan anak sulung dari empat bersaudara, bergelar sarjana teknik industri dan magister keuangan. Saat ini ia memimpin Vente Venezuela, partai oposisi yang berhaluan liberal dan mendorong reformasi ekonomi terbuka, termasuk privatisasi perusahaan minyak negara PDVSA, serta pembentukan program kesejahteraan bagi warga miskin.

Karier politiknya dimulai pada 2002 ketika ia ikut mendirikan Sumate, organisasi masyarakat sipil yang berupaya mempersatukan warga di tengah polarisasi politik di bawah pemerintahan Hugo Chávez. Melalui Sumate, ia memimpin upaya referendum untuk memberhentikan Chávez dari jabatan presiden, yang kemudian membuatnya dituduh melakukan pengkhianatan. Ia juga menerima ancaman dari pendukung Chávez hingga harus mengirim anak-anaknya ke luar negeri demi keamanan.

Kendati mengalami berbagai tekanan, Machado tetap menjadi figur penting oposisi terhadap pemerintahan Nicolás Maduro, yang berkuasa sejak 2013. Pada 2023, ia memenangkan pemilihan pendahuluan oposisi dan berpeluang besar menantang Maduro pada pemilihan presiden 2024, namun Mahkamah Agung Venezuela mempertahankan larangan baginya untuk menduduki jabatan publik.

Bertahan dalam Persembunyian

Setelah pemilihan umum 2024 yang dimenangkan Maduro secara kontroversial, Machado memilih bersembunyi karena khawatir terhadap keselamatannya. Sejumlah penasihat utamanya ditangkap atau terpaksa meninggalkan negara itu. Meski demikian, ia tetap aktif berkomunikasi dengan para pendukungnya melalui media sosial.

Pada Agustus 2024, Machado sempat muncul dalam aksi unjuk rasa di Caracas menentang hasil pemilu. Ia juga ditangkap secara singkat pada Januari 2025 saat menghadiri aksi serupa, lalu dibebaskan beberapa jam kemudian.

Pemerintah Maduro menuduhnya terlibat dalam konspirasi melawan negara dan mendukung sanksi Amerika Serikat, tuduhan yang dibantah Machado sebagai bentuk upaya pembungkaman politik.

Penghargaan untuk Demokrasi

Dalam pernyataannya, Komite Nobel menyebut Machado telah “menyatukan oposisi Venezuela, menolak militerisasi masyarakat, dan tetap teguh mendukung transisi damai menuju demokrasi.”

Frydnes mengatakan penghargaan ini menjadi pengakuan atas keberanian para pembela kebebasan di tengah kemunduran demokrasi di banyak negara.

Direktur Peace Research Institute Oslo (PRIO), Nina Graeger, menyebut keputusan tersebut sebagai “penghargaan bagi demokrasi”.

“Di saat otoritarianisme meningkat di berbagai belahan dunia, penghargaan ini menyoroti keberanian mereka yang membela kebebasan dengan suara, bukan dengan senjata,” ujarnya di platform X.

Reaksi dari Amerika Serikat

Hingga kini, belum ada tanggapan dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang sebelumnya secara terbuka mengaku berharap memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian. Juru bicara Gedung Putih, Steven Cheung, menilai keputusan Komite Nobel “bermuatan politik”.

Namun Frydnes menegaskan, keputusan Komite Nobel “sepenuhnya didasarkan pada karya dan kehendak Alfred Nobel.”

“Kami dikelilingi potret para penerima Nobel yang melambangkan keberanian dan integritas. Pilihan kami selalu berpegang pada prinsip-prinsip itu,” katanya. (*)

Editor: Pratiwi

RELATED NEWS