Malaysia akan Meninjau Ulang Perjanjian Bilateral untuk Berantas Eksploitasi Pekerja
MALAYSIA (sijori.id) - Malaysia akan meninjau kembali perjanjian bilateral dengan 15 negara yang menjadi sumber tenaga kerja dalam upaya mengatasi praktik eksploitatif dan ketidakseimbangan tenaga kerja yang telah menyebabkan ribuan pekerja migran terdampar tanpa pekerjaan.
Sejak tahun lalu, ribuan migran, sebagian besar dari Bangladesh dan Nepal, telah ditinggalkan setelah tiba di Malaysia, terkatung-katung setelah tiba di Malaysia. Mereka diberitahu bahwa pekerjaan yang dijanjikan kepada mereka sebagai imbalan biaya perekrutan yang tinggi tidak lagi tersedia.
Penderitaan para migran bertepatan dengan kekhawatiran atas pelanggaran di tempat kerja di Malaysia, dengan beberapa perusahaan menghadapi larangan Amerika Serikat (AS) atas penggunaan kerja paksa dalam beberapa tahun terakhir. Banyak buruh mengatakan mereka belum dibayar upah apa pun.
Berbicara kepada wartawan pada Selasa malam, 16 Januari 2024, menteri tenaga kerja dan dalam negeri mengatakan distribusi tenaga kerja tidak merata di seluruh perekonomian, mendorong perlunya meninjau kembali perjanjian bilateral.
Mereka mengatakan Malaysia masih memiliki kekurangan pekerja dalam sektor pertanian dan perkebunan, sementara kuota sudah terlampaui di industri lain.
“Kami akan meninjau kembali perjanjian dengan melihat berbagai elemen termasuk biaya, biaya, ketentuan kontrak, kesehatan dan sebagainya,” tukas Menteri Dalam Negeri Saifuddin Nasution Ismail, seraya menambahkan bahwa pemerintah akan mengizinkan pengalihan kuota pekerja lintas sektor, dikutip dari Reuters, pada Rabu, 17 Januari 2024.
Pekerja dari Indonesia, Bangladesh, dan Nepal menyumbang lebih dari 70% tenaga kerja migran Malaysia, dengan sisanya berasal dari negara-negara termasuk India, Vietnam, Pakistan, dan Thailand.
Menteri Sumber Daya Manusia, Steven Sim, mengatakan pihak berwenang telah menyelesaikan penyelidikan terhadap lima perusahaan yang terlibat dalam perekrutan ratusan pekerja yang kemudian kehilangan pekerjaan.
Dia mengatakan pengusaha/majikan yang mempekerjakan pekerja seperti itu harus membayar mereka upah meskipun mereka tidak memiliki pekerjaan, menambahkan bahwa perusahaan dan individu yang melanggar hukum akan dilarang mempekerjakan pekerja migran.
Sim mengatakan 751 pekerja migran Bangladesh telah mengajukan kasus ke departemen tenaga kerja untuk mengklaim upah yang belum dibayar, yang melibatkan total 2,2 juta ringgit (US$467.687). (*)