Mengenal Lucy Guo, Miliarder Termuda yang Tetap Hidup dengan Etos Kerja Ekstrem
(sijorti.id) - Lucy Guo mungkin seorang miliarder, tetapi gaya hidupnya jauh dari gambaran stereotip tentang kemewahan dan kenyamanan. Sebaliknya, ia menjalani rutinitas ketat dengan etos kerja yang tak kenal lelah.
Di usia 30 tahun, pengusaha kelahiran California ini telah mencapai pencapaian yang diimpikan banyak orang seumur hidup. Pada April lalu, kekayaannya melonjak menjadi 1,3 miliar dolar AS setelah Scale AI—startup pertamanya—mengamankan kesepakatan besar dengan raksasa teknologi Meta, yang menilai perusahaan itu sebesar 25 miliar dolar AS. Kesepakatan tersebut menjadikannya wanita termuda yang meraih predikat miliarder mandiri, menggeser posisi penyanyi pop Taylor Swift.
“Sejujurnya, saya masih merasa seperti gadis kecil yang sama. Hidup saya sebelum dan sesudah punya uang tidak banyak berubah,” kata Guo kepada CNBC Make It.
Guo mendirikan Scale AI, perusahaan pelabelan data AI, bersama Alexander Wang pada 2016. Ia memimpin tim operasional dan desain produk sebelum keluar dari perusahaan tersebut pada 2018.
“Kami punya perbedaan pandangan,” jelasnya. “Alex sangat fokus pada penjualan dan menarik pelanggan, sementara saya ingin memprioritaskan produk dan memastikan karyawan dibayar tepat waktu. Tapi, bukan ke situ sumber daya diarahkan.”
Meski keluar, Guo tetap mempertahankan kepemilikannya—hampir 5%. Saat Meta mengakuisisi 49% saham Scale AI, nilai kepemilikan Guo melonjak menjadi sekitar 1,25 miliar dolar AS.
Lulusan Thiel Fellowship sekaligus pengusaha serial ini tidak lama menganggur. Pada 2019, ia mendirikan Backend Capital, perusahaan modal ventura yang mendukung startup teknologi tahap awal. Tahun 2022, ia mendirikan Passes, platform monetisasi kreator konten yang kini telah mengumpulkan pendanaan lebih dari 65 juta dolar AS.
Miliarder yang Tetap Bekerja Seperti Pendiri Startup
Menjadi miliarder tidak membuatnya melambat. “Saya masih bekerja sangat panjang setiap hari,” ujarnya. Jadwalnya dimulai pukul 05.30 pagi dengan dua sesi olahraga beruntun di Barry’s Bootcamp. Waktu makan siang sering ia habiskan di sela rapat karena jadwalnya tak selalu memungkinkan untuk istirahat.
“Saya pikir kebanyakan orang bisa punya work-life balance kalau mereka mengurangi kebiasaan buang waktu, seperti scroll TikTok atau menonton TV tanpa tujuan,” katanya.
Guo hanya memberikan satu setengah hari libur dalam seminggu—Sabtu siang sampai pukul 6 sore—untuk berkumpul dengan teman, sebelum kembali bekerja.
“Saya merasa punya lebih banyak waktu karena saya tidak butuh banyak tidur,” tambahnya. “Saya bisa bekerja sampai tengah malam, pergi ke klub sampai jam 2 pagi, tidur beberapa jam, dan tetap bangun jam 6 untuk Barry’s.”
Pendekatannya mencerminkan budaya kerja keras ala Silicon Valley—mirip dengan jadwal kerja “996” di Tiongkok (jam 9 pagi sampai 9 malam, enam hari seminggu). Guo yakin jadwal 12 jam per hari masih menyisakan ruang untuk bersosialisasi.
“Dari jam 9 malam sampai jam 2 pagi, kamu bisa kumpul dengan teman, lalu tidur dari jam 2 sampai jam 9—itu tujuh jam, cukup banyak,” jelasnya.
Perdebatan Soal Budaya 996
Tidak semua orang setuju. Para kritikus menyebut jadwal kerja ini memicu kelelahan dan tingkat keluar-masuk karyawan yang tinggi. Sarah Wernér, pendiri Husmus, menyebut pola kerja 996 sudah ketinggalan zaman, sementara Suranga Chandratillake dari Balderton Capital menyebutnya “pemuliaan kerja berlebihan.”
Guo mengakui bahwa pendiri startup tahap awal hampir tidak punya pilihan. “Saat memulai perusahaan, kamu hampir pasti harus bekerja 90 jam seminggu untuk membangunnya,” katanya. Namun seiring perusahaan berkembang, merekrut lebih banyak orang, dan stabil, jam kerja bisa berkurang.
Meski begitu, Guo menekankan bahwa menjadi miliarder tidak selalu membutuhkan jam kerja ekstrem—investasi jangka panjang juga bisa membawa hasil serupa. “Kalau kamu investasi ratusan ribu dolar di S&P 500 secara konsisten, itu bisa tumbuh menjadi miliaran seumur hidup,” jelasnya. (*)
