Penelusuran ke Pulau Boyan
BATAM (sijori.id) - Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Batam menelusuri Pulau Boyan, Kelurahan Pulau Buluh, Kecamatan Bulang. Pulau Boyan ini menyimpan sejarah pada masa pendudukan Belanda di waktu silam.
Perjalanan dimulai menggunakan kapal cepat (speedboat) dari Pelabuhan Rakyat Sagulung, dengan waktu perjalanan lebih kurang 15 menit. Setibanya di lokasi, pengunjung bakal melihat rumah warga Pulau Boyan.
Warga dan sesepuh di Pulau Boyan, Ena, menuturkan bahwa pada tahun 1960, ia mulai menetap di Pulau Boyan bersama suaminya. Pada tahun tersebut, ia masih melihat bekas-bekas bangunan peninggalan Belanda yang ada di Pulau Boyan. Seperti terowongan, penjara, tempat meriam dan bekas rumah.
”Dulu ada juga jalan semen yang masih bisa dilewati mobil,” katanya, Sabtu (29/5/2021).
Menurut dia, dulunya Pulau Boyan menjadi markas Belanda dan terdapat lubang tempat persembunyian. Kemudian, terdapat juga bekas bangunan yang difungsikan seperti kolam renang dan berada persis di tepi laut. Sehingga, saat air laut surut, bangunan itu berisi air dan dijadikan kolam renang.
”Saya memang tidak menjumpai orang Belanda, saya lihat sendiri dan diceritakan oleh orang tua sini dan almarhum suami ,” ucap wanita berusia 70 tahun ini, yang diperkirakan jadi orang paling tua bertempat tinggal di pulau ini.
Kepala Disbudpar Kota Batam, Ardiwinata, bersama Kepala Bidang (Kabid) Kebudayaan Disbudpar Kota Batam, Muhammad Zen, ikut terlibat dalam ekspedisi untuk mengungkap sejarah peninggalan Belanda di Pulau Boyan tersebut. Ardi mengatakan, berdasarkan cerita turun temurun, Pulau Boyan diperkirakan menjadi tempat bagi Belanda melakukan pemantauan wilayah perbatasan di daerah yang dijajah sesuai Traktat London.
Dalam penelusuran tersebut, Ardi menemukan tiga situs atau bekas bangunan yang diperkirakan menjadi tapak pos pemantauan, ada bekas kantor, dan tapak meriam.
”Sejarah-sejarah semacam ini yang akan terus kami gali,” katanya.
Ia menjelaskan, kumpulan jejak sejarah Belanda di Pulau Boyan akan diceritakan dan menjadi koleksi Museum Batam Raja Ali Haji, tepatnya di Khazanah masa Belanda. Bagi pengunjung yang ingin melihat langsung bekas bangunan, juga dapat datang langsung ke Pulau Boyan.
Tak berhenti di situ, Disbudpar juga berencana menelusuri jejak sejarah peninggalan Belanda di Pulau Sambu, Kecamatan Belakangpadang. Pulau ini dulunya dikontrak dan digunakan oleh Belanda sejak Kesultanan Riau Lingga dan berakhir tahun 1976.
Sementara Anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Batam, Anasrudin, mengatakan, Pulau Boyan memang mempunyai jejak sejarah yang berkaitan dengan masa penjajahan Belanda di Tanah Air. Karena itu, TACB siap menerima laporan dari organisasi atau masyarakat, tentang potensi cagar budaya lain yang mungkin belum ditemukan.
”TACB Kota Batam siap bekerja untuk mengkaji bukti-bukti yang ada,” ucapnya.
Anas menyampaikan, saat ini Kota Batam sudah mempunyai TACB. Sehingga, masyarakat yang menjumpai benda-benda yang kemungkinan merupakan peninggalan sejarah atau benda cagar budaya, dapat melaporkanya atau mendaftarkannya melalui Disbudpar Kota Batam.
”Dari data tersebut, TACB akan mengkaji dan menggelar rapat. Kategori cagar budaya sendiri, nantinya dinilai berdasarkan lama tahun suatu barang, nilai pentingnya, dan juga bentuknya,” pungkasnya. (*)