Politik Uang di Mata Seorang Marketer

Pratiwi - Sabtu, 30 Desember 2023 06:24 WIB
Ilustrasi politik uang.

JAKARTA – Konsultan Bisnis dan Marketing, Yuswohady, menilai bahwa politik uang atau money politics pada momentum pemilihan umum (pemilu) mengandung paradoks karena sifatnya yang dapat diibaratkan sebagai pedang bermata dua.

Di samping kontroversinya, praktik money politics dinilai Yuswohady memiliki potensi untuk menggerakkan sektor ekonomi, khususnya di kalangan masyarakat umum.

Politik uang dapat menjadi pendorong tingkat pengeluaran konsumen, di mana masyarakat menerima sejumlah uang tunai untuk digunakan dalam berbagai pembelanjaan. Saat tingkat pembelanjaan meningkat, aliran uang di dalam masyarakat pun ikut berputar dengan cepat.

“Faktanya, transaksi yang terpantau di Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) malah meningkat saat minggu tenang pascakampanye. Saldonya selalu habis pada saat minggu tenang,” kata Yuswohady dikutip dari risetnya yang berjudul Triple Winning Economies Marketing Outlook 2024..

Yuswohady pun menyoroti bahwa selama masa tenang, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga mencatat peningkatan permintaan penukaran uang pecahan Rp50.000 dan Rp100.000, terutama di Jakarta dengan akumulasi nilai yang mencapai Rp 113 miliar.

“Dengan kata lain, money politics seolah menjadi "pelumas" bagi roda perekonomian,” papar Yuswohady.

Kilas Balik Politik Uang pada Pemilu 2019

Pada masa tenang pemilu 2019, gempuran politik uang menjadi sorotan utama, dengan pengawas pemilu berhasil menangkap tangan 25 kasus pelanggaran di 25 kabupaten/kota.

Fenomena tersebut hadir seiring dengan fakta bahwa 60% dari responden mengakui siap menerima politik uang jika ada pihak yang bersedia memberikan menurut hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD).

Hasil survei juga menggambarkan bahwa 40% dari responden tidak ragu menerima uang dari peserta pemilu, namun tanpa mempertimbangkan untuk memberikan suara kepada mereka.

Sementara itu, 37% responden mengakui menerima pemberian uang dan mempertimbangkan pemberi uang tersebut sebagai calon yang layak dipilih.

Terdapat perbandingan menarik antara pemberian uang dan barang. Sebanyak 64-76% responden lebih memilih pemberian uang ketimbang barang.

Meskipun demikian, 23-35% dari mereka yang lebih memilih barang, menginginkan jenis barang seperti sembako, bibit, pupuk, dan lain sebagainya.

Sebagai informasi, selama masa tenang pemilu 2019, seluruh pengawas pemilu di seluruh Indonesia, di semua tingkatan, aktif melaksanakan patroli pengawasan dari 14 hingga 16 April 2019.

Tujuan utama patroli ini adalah mencegah dan mengawasi praktik politik uang yang dapat memengaruhi hasil pemilihan.

Dalam serangkaian patroli tersebut, para pengawas pemilu berhasil menangkap tangan peserta pemilu dan tim pemenangan yang diduga terlibat dalam praktik memberi uang kepada masyarakat guna mempengaruhi pilihan mereka.

Hingga Selasa, 16 April 2019, telah tercatat 25 kasus yang tertangkap tangan, tersebar di 25 kabupaten/kota di 13 provinsi di seluruh Indonesia.

Provinsi dengan jumlah kasus tertangkap tangan terbanyak adalah Jawa Barat dan Sumatera Utara, masing-masing dengan lima kasus.

Penangkapan dilakukan melalui koordinasi antara pengawas pemilu dan pihak kepolisian. Setiap pengawas pemilu yang menemukan kasus akan mengambil langkah-langkah selanjutnya dengan mengumpulkan bukti dan mengklarifikasi semua pihak yang terlibat sambil menyaksikan proses tersebut.

Berbagai jenis barang bukti berhasil ditemukan selama patroli, termasuk uang, deterjen, dan sembako.

Kasus dengan jumlah uang terbesar terungkap di Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, dengan total uang sebesar Rp190 juta. Tempat praktik politik uang mencakup rumah penduduk dan lokasi ramai seperti pusat perbelanjaan.

Dalam melaksanakan pengawasan selama hari tenang, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bersama pengawas pemilu di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) melakukan patroli dengan berbagai metode, termasuk mengelilingi kampung sambil menyampaikan kampanye tolak politik uang kepada masyarakat.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur larangan bagi pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih selama masa tenang.

Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan ini termaktub dalam Pasal 523 ayat 2, dengan ancaman hukuman penjara maksimal empat tahun dan denda hingga Rp48 juta.

Adapun, praktik politik pada hari pemungutan suara juga dilarang, dan pelanggaran dapat mengakibatkan hukuman penjara maksimal tiga tahun dan denda hingga Rp36 juta. (*)

Tags Politik UangBagikan

RELATED NEWS