Sampah Makanan di Indonesia Memprihatinkan
SLEMAN (sijori.id) - Angka food waste atau sampah makanan di Indonesia sungguh memprihatinkan. Hal ini diungkap oleh Deputi Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi, Badan Pangan Nasional RI, Drs. Nyoto Suwignyo, M.M. Nyoto Suwignyo mengungkapkan lebih kurang ada 59,8 kg makanan per kapita per tahun yang terbuang sia-sia. Dimana dari 59,8 kg per kapita tersebut, 28 kg bersumber dari rumah tangga dan 31,8 kg lainnya dari non rumah tangga.
Demikian Nyoto dalam SDGs SEMINAR SERIES #80 bertema ‘Peluang dan Tantangan Pengendalian Kerawanan Pangan Indonesia’ yang diselenggarakan Fakultas Geografi UGM.
Jika dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 273 juta, maka total sampah makanan yang dihasilkan Indonesia setiap tahunnya mencapai 16,3 juta ton.
“Padahal satu butir padi berada pada posisi tumbuh sangat lama (dimana rata-rata 3-4 bulan) dan ternyata kemudian hanya dibuang sia-sia oleh para orang-orang yang menggunakannya dengan boros dan mengakibatkan kemubaziran dalam mengelola makanan,” tutur Nyoto Suwignyo.
Diketahui, dari angka sampah makanan 59.8 kg perkapita di atas, 2,7 kg nya adalah beras, 7,3 kg adalah sayur, 5 kg adalah buah, tempe – tahu – oncom 2,8 kg, selebihnya adalah ikan, daging, dan lain-lain.
Pada tahun 2021 lalu, Agensi United Nation untuk pangan, Food and Agriculture Organization (FAO), mengatakan bahwa pada tahun 2050 nanti jumlah penduduk dunia diperkirakan akan tembus 10 miliar.
Maka untuk mengimbanginya, FAO menuturkan bahwa produksi pangan dunia harus naik setidaknya 70%. Artinya, jika produksi pangan tidak naik, maka krisis pangan tidak akan dapat dihindari.
Guru Besar UGM dari Fakultas Geografi, Prof. Dr. M. Baiquni M. A., mengajak masyarakat untuk peduli dengan ancaman krisis pangan di masa depan. Prof. Baiquni mengatakan bahwa pemenuhan kebutuhan pangan memiliki tantangan besar.
Tantangan pertama adalah pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Prof. Baiquni menjelaskan dalam 250 tahun terakhir, jumlah penduduk dunia telah tumbuh dengan pesat dari kurang dari 1 miliar menjadi lebih kurang 7,99 miliar seperti sekarang ini.
Tantangan kedua adalah perubahan iklim. Oleh karena industrialisasi yang terjadi selama 250 kebelakang, perubahan iklim telah menjadi keniscayaan atau pasti terjadi. Dalam upaya memproduksi pangan, perubahan iklim ini dapat menurunkan kemampuan alam untuk memproduksi pangan.
Namun, Prof. Baiquni turut mengajak untuk tetap optimis dalam menghadapi masa depan. Prof. Baiquni mengatakan bahwa akan selalu ada harapan dengan inovasi teknologi dan perencanaan pembangunan berstrategi.
“Namun demikian, (tetap) terlihat selalu ada optimisme dengan (inovasi) teknologi dan (inovasi) sistem-sistem yang dibangun dengan manajemen dan strategic thinking dalam teori pembangunan,” pungkas Prof. Baiquni. (*)