William Shakespeare dan Kebijaksanaan yang Tak Lekang Waktu
4 abad telah berlalu, namun kata-kata William Shakespeare masih menembus zaman. Ia bukan sekadar penyair, melainkan peneliti jiwa manusia — menyingkap tabir kehidupan, cinta, dan keberanian dengan kejujuran yang tajam. Dalam setiap kalimatnya, kita menemukan cermin diri: tentang keraguan, tentang waktu, tentang kejujuran, dan tentang arti menjadi manusia.
“Keraguan adalah pengkhianat,” tulis Shakespeare dalam Measure for Measure. Kalimat sederhana, namun mengandung pelajaran besar: sering kali, musuh terbesar bukan dunia di luar sana, melainkan suara kecil dalam diri yang menakut-nakuti langkah kita sendiri. Ia mengajak kita melawan takut dan percaya pada diri sendiri — sebab hanya yang berani melangkah yang tumbuh.
Dalam Hamlet, ia menulis, “Tidak ada yang baik atau buruk; pikiranlah yang menjadikannya begitu.” Pandangan itu menegaskan kekuatan persepsi. Dunia tak berubah, tapi cara kita memandangnya bisa mengubah segalanya. Kebebasan sejati, kata Shakespeare, bermula dari pikiran yang merdeka.
Lalu, “Dunia adalah panggung, dan kita semua hanyalah pemainnya,” ujarnya dalam As You Like It. Hidup, baginya, adalah drama panjang tempat setiap orang memerankan peran yang terus berganti seiring waktu. Kesadaran akan perubahan itu membuat kita lebih ringan melangkah, tak terlalu melekat pada satu babak kehidupan.
Dari All’s Well That Ends Well, ia menulis dua nasihat yang abadi: “Tak ada warisan yang lebih kaya daripada kejujuran” dan “Cintailah semua orang, percayalah pada sedikit, dan jangan berbuat salah pada siapa pun.” Keduanya menjadi fondasi moral yang sederhana namun sulit dijalani — mengajarkan keseimbangan antara kasih dan kehati-hatian, antara niat baik dan kebijaksanaan.
Shakespeare juga mengingatkan tentang waktu. “Aku menyia-nyiakan waktu, dan kini waktu menyia-nyiakanku,” tulisnya dalam Richard II. Waktu, baginya, bukan sekadar detik yang lewat, tapi penanda kebermaknaan hidup.
Dari Julius Caesar, ia menulis, “Kesalahan, Brutus, bukan pada bintang-bintang kita, tapi pada diri kita sendiri.” Ia menolak takdir sebagai kambing hitam. Hidup, katanya, adalah hasil dari pilihan dan tanggung jawab.
Dan tentu, ada kalimat yang terus dikutip lintas abad: “Jangan takut pada keagungan. Ada yang lahir besar, ada yang meraih kebesaran, dan ada pula yang dipaksa menjadi besar.” (Twelfth Night). Shakespeare menegaskan: kebesaran bukan warisan, tapi keputusan untuk bangkit saat hidup memanggil.
Kata-kata Shakespeare hidup bukan karena tuanya, tapi karena kejujurannya. Ia menulis dari tempat yang paling dalam di hati manusia, tempat di mana ketakutan, harapan, dan cinta bersatu. Di sanalah letak keabadiannya — karena selama manusia masih berpikir dan merasa, kata-katanya akan terus bergetar di ruang batin kita. (*)
