BP Batam Usulkan Transisi Impor Non-B3 yang Lebih Manusiawi

Kamis, 16 Oktober 2025 20:01 WIB

Penulis:Pratiwi

bp-batam.jpg

BATAM (sijori.id)  – Bagi banyak pelaku industri di Batam, kabar penghentian impor limbah non-B3 plastik daur ulang terasa seperti petir di siang bolong. Sumber bahan baku utama mereka tiba-tiba terancam, padahal dari sektor inilah ribuan pekerja lokal menggantungkan hidupnya.

Melihat situasi itu, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) tak tinggal diam.
Lembaga ini mengajukan solusi tengah: kebijakan transisi yang terukur agar industri punya waktu beradaptasi tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan.

Deputi Bidang Investasi dan Pengusahaan BP Batam, Fary Djemy Francis, menilai bahwa arah kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memang penting untuk memperkuat tata kelola lingkungan. 
 

Namun, ia mengingatkan bahwa perubahan mendadak tanpa masa penyesuaian bisa mengguncang iklim investasi dan memunculkan ketidakpastian di dunia usaha.

“Tujuan kebijakan ini baik, tapi implementasinya perlu jeda. Industri butuh waktu untuk beralih ke pasokan bahan baku domestik. Kepastian regulasi itu kunci bagi keberlanjutan investasi di Batam,” kata Fary seperti dalam rilis yang disebar kepada media massa.

 

Menopang Ekspor, Menyerap Ribuan Pekerja

Industri daur ulang plastik non-B3 di Batam mungkin tak selalu terlihat glamor, namun kontribusinya nyata.
 

Data BP Batam mencatat, sepanjang 2024, volume pengolahan limbah plastik mencapai 266 ribu ton, naik hampir 90 ribu ton dibanding tahun sebelumnya.

Terdapat 16 perusahaan aktif di sektor ini dengan investasi mencapai USD 50 juta dan nilai ekspor USD 60 juta per tahun.
 

Lebih dari 3.500 tenaga kerja lokal menggantungkan hidup dari industri daur ulang, yang juga menopang rantai pasok nasional dan ekonomi sirkular.

Jika kebijakan penghentian impor diberlakukan tanpa masa transisi, BP Batam menilai dampaknya bisa berantai: produksi melambat, ekspor turun, dan lapangan kerja terguncang.

 

Usulan Lima Tahun: Jalan Tengah yang Rasional

Untuk itu, BP Batam menyarankan masa transisi lima tahun — waktu yang dianggap cukup bagi industri beradaptasi dari bahan baku impor menuju pasokan domestik.
Dengan cara ini, pemerintah tetap bisa menjalankan agenda hijau tanpa membuat industri tersandung di tengah jalan.

“Ini bukan bentuk penolakan, melainkan ikhtiar mencari keseimbangan antara kelestarian lingkungan dan kepastian berusaha,” ujar Fary.
 

“Batam siap mendukung kebijakan hijau pemerintah, tapi juga ingin melindungi tenaga kerja dan kepercayaan investor.”

Sebagai kawasan strategis berorientasi ekspor, Batam harus menjaga dua hal sekaligus: bumi yang lestari dan ekonomi yang berdenyut.
 

Bagi BP Batam, transisi yang manusiawi menjadi kunci agar keduanya bisa berjalan beriringan. (*)