Catatan Hambatan Industri di Batam

Kamis, 26 November 2020 20:05 WIB

Penulis:Pratiwi

Tumpukan Peti Kemas di Pelabuhan, sebuah ilustrasi
Tumpukan Peti Kemas di Pelabuhan, sebuah ilustrasi undefined

BATAM (sijori.id) -  Pengelola kawasan industri di Batam menilai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 47/2019 tentang pengadaan, distribusi, dan pengawasan bahan berbahaya, merugikan pengusaha di Batam.

”Kami mengharapkan semua perizinan berusaha dan perizinan lainnya yang diperlukan para pelaku industri, kewenangannya ada di Badan Pengusahaan (BP) Batam saja, biar makin cepat,” kata Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI) Kepri, OK Simatupang, Rabu (25/11/2020) seperti dilansir Batam Pos.

OK menyitir Pasal 10 UU 11/2020 tentang Cipta Lapangan Kerja, khususnya klaster Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Batam (KPBPB). Pada pasal 11 disebutkan, barang yang dilarang untuk dimasukkan adalah barang yang terkena ketentuan larangan.

Permendag 47/2019 dianggap merugikan, karena memperlambat proses produksi.

”Barang Berbahaya atau kita kenal B2 ini dipergunakan perusahaan industri sebagai salah satu bahan bakunya. Masalahnya, harus angkut lanjut ke Jakarta atau pelabuhan lainnya yang terdaftar di Permendag, baru dilanjutkan ke Batam, tentu bagi para industri ini tidak bagus,” paparnya.

Kemudian, regulasi lainnya yang dianggap menghambat yakni terkait laporan survei oleh surveyor, seperti Sucofindo dan lainnya.

 ”Untuk bahan baku yang terkena pembatasan, itu sama sekali tidak ada manfaatnya, terkesan buang-buang waktu dan banyak masalah dari peraturan tersebut,” jelasnya.

Contohnya, bahan baku dari Eropa atau Amerika, tapi distributornya ada di Singapura. Lalu oleh surveyor, mengharuskan survei di negara asal bahan baku untuk mengumpulkan laporan survei (LS), padahal bahan baku tersebut sudah ada di Singapura.

”Ini kan tidak make sense (masuk akal) dan mempersulit proses pengiriman bahan baku. Padahal, barang jadi yang dihasilkan perusahaan industri tersebut untuk ekspor. Bagaimana ekspor kita mau meningkat, kalau yang seperti ini tidak pernah mendapatkan perhatian,” ungkapnya.

Masih banyak kendala lainnya. OK juga menyoroti masih banyaknya persetujuan impor yang bisa diselesaikan di Batam, tapi harus ke Jakarta lagi.

”Untuk itu, kami harapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP)-nya baik tentang KPBPB, perindustrian, dan perdagangan, harus sejalan dengan UU di atas. Perlu mendapatkan pengawalan adalah pada aturan pelaksananya dan petunjuk teknis di lapangannya. Jangan sampai tidak sinkron lagi dengan UU tersebut,” jelasnya.  

Ia mengatakan, jika proses perizinan dari hilir ke hulu diserahkan kepada Badan Pengusahaan, ia yakin KPBPB Batam, Bintan, dan Karimun (BBK), akan sangat mampu menjadi salah satu magnet dalam meningkatkan daya saing BBK di regional Asean.
Keluhan-keluhan sebenarnya sudah disampaikan ke Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Jerry Sambuaga yang berkunjung ke Batam beberapa hari lalu. Menurut Jerry, Batam sebagai salah satu pintu masuk memiliki potensi yang bisa dikembangkan.

“Tentunya kami dari Kemendag siap untuk memfasilitasi hal tersebut. Hasilnya adalah bagaimana kita bisa membawa produk-produk yang ada di daerah untuk bisa diekspor,” kata Jerry.

Ia pun menyambut baik kegiatan public hearing dengan pengusaha di Batam, sehingga dapat banyak mendengar masukan dan tantangan yang ada di Batam.

 “Ada beberapa hal yang harus di follow-up oleh beberapa instansi, tidak hanya dari Kementerian Perdagangan, tapi melibatkan kementerian atau lembaga lainnya,” jelasnya.

Wamendag mengapresiasi masukan-masukan yang disampaikan para pelaku usaha dan ia akan mencoba meneruskan dan mencari solusinya. (bpos)