Minggu, 05 Juli 2020 19:57 WIB
Penulis:Pratiwi
JAKARTA (sijori.id) - Masuknya Arcandra Tahar ke PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) mulai membawa dampak positif. Wakil menteri ESDM periode 2016-2019 yang dikenal detil dan menguasai industri migas itu selalu mendorong adanya efisiensi dalam setiap proyek migas di Indonesia.
Terbaru, Arcandra yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama PGN mengungkapkan, bahwa PGN sukses memangkas biaya proyek pembangunan pipa minyak di koridor Minas-Duri-Dumai dan Balam-Bangko-Dumai, Wilayah Kerja Rokan.
"Alhamdulillah kami berhasil memangkas biaya proyek yang semula mencapai USD 450 juta menjadi USD 300 juta. Ada penghematan biaya sekitar USD 150 juta atau sekitar Rp 2,1 triliun di proyek ini," ungkap Arcandra saat menjadi keynote speaker diskusi dari bertema Renewwable Energy: Potensi, Prospek dan Arah Riset Nasional yang diselenggarakan Universitas Tidar dan Universitas Bung Hatta, Sabtu sore (4/7/2020).
Blok Rokan dengan 6.220 kilometer memiliki 96 lapangan. Tiga lapangan berpotensi menghasilkan minyak sangat baik, yaitu Duri, Minas dan Bekasap. Mulai tahun 2021 nanti pengelolaan blok Rokan akan beralih dari Chevron kepada Pertamina. Hal ini menyusul selesainya masa kontrak kerja Chevron di blok tersebut yang telah berlangsung selama 50 tahun.
Peralihan pengelolaan Blok Rokan, salah satu sumber minyak terbesar di Indonesia saat ini, juga diputuskan ketika Arcandra Tahar masih menjabat Wamen ESDM. Bahkan sesuai kebijakan saat itu, Pertamina yang ditunjuk sebagai pengelola baru Blok Rokan mulai 2021, harus menyiapkan dana komitmen kerja pasti untuk pengembangan blok tersebut senilai USD 500 juta.
Pertamina juga wajib membayarkan Bonus Tanda Tangan yang masuk ke kas negara senilai USD 784 juta. Skema fiskal blok Rokan beralih menjadi Gross Split, sehingga tidak membebani biaya APBN seperti halnya sistem Cost Recovery yang berlaku sebelumnya.
Lebih lanjut Arcandra menambahkan, pemahaman teknologi dan komersial menjadi sangat penting di sektor pengelolaan sumber daya alam (SDA). Itu sebabnya, pengelolaan sumber daya manusia di Indonesia perlu di dorong untuk dapat menguasai dua aspek tersebut.
"Dalam situasi Pandemi COVID-19 dan ekonomi yang menurun dewasa ini efisensi menjadi hal yang paling urgent dilakukan. Tapi jangan sampai efisiensi itu menghambat proyek yang sudah direncanakan, apalagi yang sifatnya strategis dan penting," tambahnya.
Urang awak ini kemudian mencontohkan proyek migas di lapangan Jambaran Tiung Biru, Bojonegoro, Jawa Timur saat masih menjadi Wamen ESDM. Ia bercerita, saat itu PLN sebagai calon pembeli gas keberatan dan tidak memungkinan jika harga gas sebesar USD 9,7 per MMBTU.
Setelah dilakukan kajian terhadap pembiayaan proyek tersebut, akhirnya kedua kontraktor yaitu Pertamina dan Exxonmobil, menyetujui untuk memangkas biasa investasi di blok Hambatan Tiung Biru tersebut. Dari semula biaya investasinya USD 2,050 miliar menjadi USD 1,550 miliar. Terjadi penghematan uang negara, karena masih menggunakan sistem fiskal cost recovery, sekitar USD 500 juta atau sekitar Rp 7 triliun (kurs Rp 14.000 per USD).
Dengan biaya investasi yang berkurang, target produksi gas dari lapangan Tiung Biru tidak berubah dari rencana awal, bahkan produksinya bisa ditingkatkan dari 172 BBTUD menjadi 192 BBTUD. Sehingga harga jual gas ke PLN juga bisa turun menjadi USD 7,6 per MMBTU tanpa eskalasi. Sebelumnya, harganya bisa mencapai rata rata US$ 9.7 per MMBTU.
"Dengan memahami aspek teknologi dan sisi komersial dari sebuah proyek migas, kita bisa melakukan banyak efisiensi. Dan yang penting proyek tersebut bisa tetap berjalan, bahkan proyek Tiung Biru saya dengar akan segera berproduksi," jelas Arcandra menutup diskusi sore itu. (*)
Bagikan