#hutan
Selasa, 01 Maret 2022 11:31 WIB
Penulis:Pratiwi
Editor:Pratiwi
BOGOR (sijori.id) -- Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Prof Muhammad Buce Saleh, mengungkapkan tutupan hutan Indonesia sepanjang tahun 1990-2020 cenderung menurun.
“Di Pulau Sumatra, terjadi penurunan sebesar 18 persen, Pulau Jawa sebesar 9 persen, Pulau Kalimantan sebesar 20 persen, Pulau Sulawesi sebesar 14 persen, Pulau Maluku sebesar 10 persen, Pulau Bali Nusa sebesar 17 persen dan Pulau Papua sebesar 7 persen,” jelasnya seperti dikutip dari situs resmi IPB University, baru-baru ini.
Dia menambahkan, perencanaan skenario pemanfaatan SDH Indonesia dalam perspektif waktu 2005—2025, telah memperkirakan luas tutupan hutan akan berkurang 20 persen pada 2025. Tren tersebut terkonfirmasi dari data penurunan tutupan hutan periode 1990-2020 sekitar 19 persen.
Berdasarkan uraian tersebut maka keadaan SDH Indonesia dalam periode 20 tahun ke depan (2005-2025) akan berada dalam tiga skenario.
“Yakni, Skenario Pesimis, Skenario Moderat dan Skenario Optimis. Skenario Pesimis dimana kondisi luas kawasan hutan akan berkurang sebesar 20 persen dan konflik masih tetap berlangsung. Skenario Moderat dengan kondisi luas kawasan hutan akan berkurang sebesar 20 persen, namun konflik dapat diselesaikan, sehingga luas tutupan hutan kemungkinan akan lebih besar dari luas kawasan hutan,” terangnya.
Sementara itu, Skenario Optimis, imbuhnya, dimana kondisi luas kawasan hutan dapat dipertahankan dan konflik dapat diselesaikan. Skenario optimis merupakan kondisi yang sangat ideal. Ini mungkin terjadi bila kita mencegah pertambahan penduduk serta pertumbuhan ekonomi sudah tidak tergantung lagi kepada SDH.
“Hasil analisis terhadap semua skenario masa depan SDH Indonesia dan semua alternatif arahan pemanfaatannya menunjukkan bahwa skenario yang paling mungkin dilakukan adalah Skenario Moderat. Arah pemanfaatan SDH lebih diutamakan untuk usaha skala kecil baik di hutan alam maupun hutan tanaman, sedangkan usaha skala besar yang ada sekarang didorong agar mempunyai kinerja baik,” tuturnya.
Menurutnya, skenario dan arahan pemanfaatan SDH Indonesia di atas hanya gambaran kecil dari penerapan perencanaan spasial. Pada dekade mendatang, perkembangan ilmu dan teknologi akan semakin pesat. Tantangannya adalah kemampuan dalam memanfaatkan ilmu dan teknologi tersebut dalam perencanaan spasial SDH agar lebih transparan, partisipatif dan kolaboratif.
“Namun, penerapan teknologi semata belum mampu mengurai permasalahan pengelolaan SDH. Dibutuhkan pengetahuan atau bidang ilmu lainnya seperti ilmu sosial, ekonomi dan politik,” ujarnya.
Penginderaan Jauh
Menurutnya, penerapan ilmu dan teknologi penginderaan jauh (remote sensing), Sistem Informasi Geografis (SIG) dan teori pengambilan keputusan akan sangat menunjang perencanaan spasial SDH.
“Perkembangan penelitian dalam inventarisasi hutan berbasis penginderaan jauh telah mencapai banyak hal. Mulai dari perbaikan teknik klasifikasi, degradasi hutan dan deforestasi, pendugaan parameter tegakan, estimasi kandungan karbon dan biomassa hutan, pendugaan produktivitas hutan dan pertumbuhan hutan, serta kajian segmentasi berdasarkan objek,” terangnya.
Dia menyampaikan, kegiatan pemantauan SDH juga sangat terbantu oleh perkembangan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). Melalui teknologi tersebut, pangkalan data (database) spasial dapat dibangun secara akurat berdasarkan peta dan data hasil inventarisasi secara time series. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan pemantauan perubahan lanskap setiap saat.
Sementara itu, keberadaan SDH yang telah diukur, termasuk keterkaitannya dengan area di sekitarnya, membutuhkan alat untuk perencanaan dan evaluasi yang bersifat menyeluruh/komprehensif). “Maka dibutuhkan teori pengambilan keputusan dalam merumuskan keputusan yang lebih konsisten dan objektif,” tandasnya. (*)
Bagikan