Sanae Takaichi Jadi Perdana Menteri Perempuan Pertama Jepang

Rabu, 22 Oktober 2025 09:11 WIB

Penulis:Pratiwi

Editor:Pratiwi

PM-Jeopang.jpg
TAKAICHI Sanae telah ditunjuk sebagai Perdana Menteri Jepang ke-104.

TOKYO (sijori.id) – Jepang menorehkan sejarah baru. Untuk pertama kalinya, negeri Sakura dipimpin seorang perdana menteri perempuan. Parlemen Jepang resmi memilih Sanae Takaichi sebagai perdana menteri pada Selasa (22/10).

Politikus konservatif berusia 64 tahun itu mengantongi 237 suara di Majelis Rendah dan 125 suara di Majelis Tinggi, setelah sebelumnya terpilih sebagai ketua Partai Demokratik Liberal (LDP).

Takaichi bukan sosok baru di panggung politik Jepang. Ia dikenal sebagai tokoh konservatif garis keras dan pengagum berat mantan PM Inggris Margaret Thatcher. Julukan “Iron Lady dari Jepang” pun melekat padanya.

Namun, Takaichi naik ke kursi tertinggi pemerintahan di tengah situasi sulit. Jepang masih dibayangi tekanan ekonomi, lonjakan biaya hidup, dan kekecewaan publik. Ia menjadi perdana menteri keempat dalam lima tahun terakhir, setelah pendahulunya tumbang akibat skandal dan merosotnya elektabilitas.

Langkah Takaichi menuju pucuk kekuasaan sempat tersendat. Mitra koalisi lama LDP, Partai Komeito, sempat menarik dukungan. Namun situasi berbalik ketika Takaichi berhasil mencapai kesepakatan menit akhir dengan Partai Inovasi Jepang (Japan Innovation Party/JIP) atau Ishin yang berhaluan kanan.

 

Ujian di Dalam dan Luar Negeri

Tantangan besar menanti Takaichi. Di dalam negeri, ia harus memulihkan kepercayaan publik terhadap LDP yang sempat kehilangan mayoritas di dua kamar parlemen akibat skandal dana politik dan inflasi tinggi. Di luar negeri, ia akan menghadapi ujian diplomasi berat.

Hubungan Jepang dan Korea Selatan yang baru mulai membaik kembali diuji, menyusul pandangan nasionalis Takaichi yang membuat Seoul waspada. Sementara terhadap Tiongkok, ia dikenal bersikap keras—mirip gurunya, mendiang Shinzo Abe.

Ujian pertamanya di panggung global akan datang pekan depan, saat ia dijadwalkan bertemu Presiden AS Donald Trump. Meski kedua negara telah mencapai kesepakatan tarif baru, komentar Trump yang kerap menekan Tokyo untuk membayar lebih dalam kerja sama pertahanan masih menjadi sumber ketegangan.

 

Konservatif dan Kontroversial

Takaichi dikenal menentang pernikahan sesama jenis dan kebijakan yang mengizinkan perempuan menikah mempertahankan nama gadisnya. Sikap konservatifnya membuat sebagian anak muda ragu bahwa kepemimpinannya akan membawa perubahan nyata bagi perempuan Jepang.

“Semua orang bilang ini momen bersejarah untuk perempuan,” ujar Ayda Ogura, mahasiswi 21 tahun. “Tapi kalau melihat pandangan politiknya, banyak yang masih sangat tradisional. Bukan arah yang progresif bagi kesetaraan gender.”

Meski begitu, dalam kampanyenya, Takaichi berjanji memperluas layanan kesehatan untuk perempuan dan memberi pengakuan lebih besar bagi pekerja rumah tangga.

 

Menuju Babak Baru Politik Jepang

Langkah Takaichi juga diharapkan mampu menarik kembali pemilih konservatif yang sempat beralih ke partai ultrakanan Sanseito. Namun ia harus bergerak cepat menanggulangi isu ekonomi. Harga kebutuhan pokok terus meroket, termasuk beras—bahan pangan utama Jepang—yang kini mencapai rekor tertinggi akibat kelangkaan pasokan.

Media lokal menyebut, Takaichi mempertimbangkan menunjuk Satsuki Katayama sebagai menteri keuangan. Jika benar, itu akan menjadi sejarah baru—dua perempuan di posisi penting kabinet.

Meski pasar keuangan masih berhati-hati terhadap utang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang lesu, kemenangan Takaichi memunculkan secercah optimisme. Jepang kini memasuki babak baru, dipimpin perempuan “berbaja” yang akan diuji seberapa kuat mampu membawa negaranya keluar dari badai. (*)