Demam Matcha Dunia, Harga Melonjak 170 Persen

Pratiwi - Rabu, 03 September 2025 21:50 WIB
null

TOKYO (sijori.id) — Saat Chitose Nagao meninggalkan karier tiga dekade di dunia periklanan untuk membuka kafe matcha, ia tak pernah membayangkan antrean panjang mengular di depan tokonya sebelum pintu dibuka. Menjelang siang, kaleng-kaleng bubuk matcha di raknya sudah ludes, sementara arus pelanggan—sebagian besar turis mancanegara—terus berdatangan untuk mencicipi kreasi hijau terbarunya.

Kafenya, Atelier Matcha, termasuk yang beruntung di tengah demam matcha global yang membuat pasokan semakin ketat, bahkan di Jepang. Nagao mengaku keberuntungannya berkat kerja sama sejak awal dengan produsen teh Kyoto, Yamamasa Koyamaen, yang menjaga pasokan tetap lancar.

“Saat Covid, saya dengar teh mereka menumpuk di gudang, saya ingin membantu,” kata Nagao. Empat tahun kemudian, ia mengelola dua gerai di Jepang, satu di Ho Chi Minh City, dan bersiap membuka cabang baru di Cebu City, Filipina.

Permintaan Melejit, Harga Meroket

Matcha sudah dikonsumsi di Jepang sejak abad ke-12, umumnya dalam upacara minum teh yang sangat ritualistik, hanya membutuhkan sedikit bubuk. Namun, permintaan melonjak dalam beberapa tahun terakhir berkat popularitas matcha sebagai superfood kaya antioksidan di TikTok, ditambah lonjakan wisatawan pascapandemi yang ikut mendongkrak harga.

Data Kementerian Keuangan Jepang mencatat ekspor teh hijau mencapai 36,4 miliar yen (Rp3,8 triliun) tahun lalu—empat kali lipat dibanding satu dekade lalu. Hampir setengahnya dikirim ke AS, sebagian besar dalam bentuk bubuk matcha.

Untuk mengurangi tekanan pada komunitas petani yang menua, pemerintah Jepang mempertimbangkan subsidi agar petani mau menanam lebih banyak tencha, varietas teh untuk matcha. Tencha memiliki nilai jual tinggi, tetapi prosesnya rumit: harus ditanam di tempat teduh dan diproses dengan teliti.

Harga Pecahkan Rekor, Toko Batasi Pembelian

Di lelang musim semi Kyoto, harga tencha melonjak 170% dibanding tahun sebelumnya menjadi 8.235 yen per kilogram, memecahkan rekor sebelumnya pada 2016. Banyak pengecer melaporkan harga matcha hampir dua kali lipat dalam setahun terakhir, dan kaleng bubuknya kian sulit ditemukan, bahkan di Tokyo.

Toko-toko kini membatasi pembelian untuk mencegah penimbunan dan memblokir pengecer ilegal. Namun, matcha tetap menjadi suvenir populer bagi wisatawan. Banyak toko online kehabisan stok berbulan-bulan lalu karena pembeli AS memborong sebelum tarif impor diberlakukan.

Kaminari Issa, jaringan toko di Tokyo yang menjual matcha beer hingga kue puff, mengaku sering menerima permintaan besar. “Mendapat email minta satu ton matcha itu biasa,” kata Miku Sugawara, manajer salah satu gerai. “Kami senang, tapi ada batasnya.”

Sugawara juga khawatir gelombang panas ekstrem tahun ini akan mengurangi panen tahun depan, sehingga harga bisa melonjak lebih tinggi lagi.

Industri Terkepung, Raksasa Teh Turun Tangan

Kelangkaan ini memaksa Ito En, penjual teh hijau botol terbesar dunia, membentuk divisi khusus matcha pada Mei lalu. Perusahaan memproyeksikan penjualan luar negeri naik 11% tahun ini dan akan menaikkan harga produk hingga 100% mulai September untuk mengimbangi biaya bahan baku dan tenaga kerja.

Ito En mengamankan 7.000 ton teh hijau setiap tahun lewat kontrak dengan petani, tetapi hanya 600 ton berupa tencha. Membujuk petani menanam lebih banyak tetap sulit karena mereka khawatir tren ini tidak bertahan lama.

“Popularitas matcha luar biasa. Pabrik kami dan semua kontraktor penuh sesak,” kata Yasutaka Yokomichi, kepala divisi matcha Ito En. Tantangan utama kini adalah memastikan kapasitas penggilingan cukup, karena menggiling 40 gram matcha bisa memakan waktu satu jam untuk mencegah panas merusak kualitas.

Di Atelier Matcha, Nagao percaya edukasi konsumen adalah kuncinya. Bubuk matcha premium tidak selalu diperlukan untuk semua menu, seperti açai bowl, katanya. Lalu, apa tren berikutnya?

“Hojicha,” ujarnya, menyebut teh panggang dengan rasa lebih ringan dan kandungan kafein lebih rendah. “Hari ini, saya tinggal punya satu saja.” (*)

RELATED NEWS