Talenta China Enggan Balik Karena Budaya Kerja Toxic

BEIJING (sijori.id) - Pemerintah China selama 3 tahun terakhir memanggil para talenta dan membuka pintu bagi mereka yang ingin kembali. Tujuannya jelas, membangun ekositem teknologi untuk menghindari ketergantungan terhadap barat. Namun, para pekerja teknologi asal China enggan kembali.
Sebagaimana diketahui, AS dan sejumlah negara barat tanpak mengucilkan teknologi asal China setelah negeri Tirai Bambu itu menunjukkan kemajuan pesat di segala bidang, termasuk teknologi. Oleh sebab itu, China dan AS bisa dikatakan tengah melakukan persiapan untuk perang teknologi.
Sayangnya, Warga negara China yang merantau ke luar negeri memilih untuk menetap dan berkarir di luar tanah airnya. Adapun alasan para pekerja teknologi asal China enggan kembali ke negaranya adalah budaya kerja yang dianggap toxic.
Mereka menilai perusahaan dalam negeri sering memperpanjang jam kerja tanpa kompensasi. Itulah yang menyebabkan beberapa pekerja China lebih memilih untuk mencari pekerjaan di luar negeri.
Salah seorang pekerja yang terkena PHK startup teknologi, Mark Liu mengaku enggan kembali ke tanah kelahirannya. Ia lebih memilih menganggur ketimbang pulang dan bekerja di tanah airnya.
Mengutip SCMP Jumat, 24 Februari 2023, Liu yang mengaku sebagai korban PHK Amazon mengatakan bahwa dia akan menjajaki peluang kerja di Kanada setelah istirahat.
Ia memilih untuk tak kembali ke negara asalnya lantaran perusahaan di China tak memberi keseimbangan kehidupan kerja yang baik. Perusahaan dalam negeri juga memiliki budaya kerja yang lebih menegangkan serta toxic.
Dalam sebuah wawancara, Liu menceritakan setelah dia lulus pada tahun 2014, dia bergabung dengan sebuah bank milik negara di Shanghai. Di perusahaan tersebut, atasan Liu dengan jelas memberi tahu tim bahwa mereka harus menyelesaikan 46 jam lembur wajib setiap bulan.
Tak sampai disitu, terkadang jam lembur diperpanjang hingga 50 jam atau lebih dan menghadiri pertemuan setelah jam kerja. “Jika Anda tidak mencapai persyaratan 46 jam, bos akan mengkritik Anda," kata Liu.
Liu menambahkan, berdasar pengalamannya, perusahaan China memperlakukan karyawannya bukan sebagai aset. Namun sebagai budak yang dibayar.
“Perusahaan mencoba yang terbaik untuk memanipulasi Anda, untuk menahan Anda dan mengendalikan Anda. Rasanya perusahaan bukan mitra dan pendukung Anda, melainkan Anda adalah budak yang dibayar," katanya.
Melihat kesaksian tersebut, ketika diperiksa ulang lewat Undang-Undang Perburuhan China, waktu kerja wajib di negara tersebut adalah delapan jam per hari dan 40 jam seminggu. Namun, hanya sedikit perusahaan yang mematuhinya, terutama perusahaan teknologi.
Menurut Biro Statistik Nasional, rata-rata minggu kerja karyawan China adalah 47,9 jam per Desember. Sebagai perbandingan, menurut data Biro Statistik Tenaga Kerja AS, semua karyawan pada non-farm payrolls swasta di Amerika Serikat bekerja rata-rata 34,7 jam per minggu. (*)
Berita Sebelumnya
Wujud Kitab Orang Mati Mesir
Berita Selanjutnya