GSI, Test PCR dan Luhut

Selasa, 09 November 2021 03:24 WIB

Penulis:Redaksi

 Bosch memperkenalkan Bosch Vivalytic sebagai perangkat uji PCR virus korona
Bosch memperkenalkan Bosch Vivalytic sebagai perangkat uji PCR virus korona undefined

Saya merasa saya harus menulis mengenai hal ini. Saya akan cerita dari awal, sehingga pembaca bisa memahami perspektif mendesaknya kita akan kebutuhan Test PCR yang terjangkau dalam pandemi ini.

Saya ingat pada tahun lalu, sekitar Maret 2020 ketika awal COVID-19 menyerang Indonesia. Saya yang baru diangkat sebagai komisaris BNI, mendapatkan fasilitas untuk Test PCR dari BNI. Bersama istri saya menuju salah satu rumah sakit di Jakarta untuk melakukan test PCR ini. Belakangan saya ketahui, biayanya cukup mahal waktu itu, kalau tidak salah mencapai kisaran Rp5-7 juta untuk satu orang. Hasilnya dijanjikan 3 hari, namun setelah 5 hari baru keluar. Alhamdulillah negatif hasilnya.

Kejadian itu membuat saya berpikir, kalau kapasitas test PCR ini terbatas, dan orang harus menunggu berhari-hari sebelum tahu hasil test mereka, tentunya kita akan keteteran dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini. Akan terjadi keterlambatan penanganan pasien, karena butuh waktu yang lama untuk mengetahui apakah seseorang terkena COVID-19 atau tidak, akibatnya tentu saja penularan akan tinggi dan bisa jatuh korban yang banyak

Tanpa berpikir panjang, saya lapor ke Bapak Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan situasi yang ada pada waktu itu. Saya sampaikan, kita harus bantu soal test PCR ini. Kalau mengandalkan anggaran pemerintah, akan butuh waktu lama untuk bisa menambah kapasitas PCR ini, dari proses penganggaran, tender, sampai kemudian sampai pembayaran. Saya cukup yakin soal ini berdasarkan pengalaman 5 tahun lebih di pemerintahan.

Pak Luhut akhirnya memerintahkan saya untuk cari alat PCR ini. Pak Luhut menyampaikan kita donasikan saja alat PCR ini ke Fakultas Kedokteran di beberapa kampus karena waktu itu mereka lah yang pasti memiliki skill untuk menjalankan test PCR ini dan kedepannya bisa digunakan untuk penelitian yang lain. 

"Soal uang, nanti kita sumbang saja To", perintah Pak Luhut kepada saya pada waktu itu. Saya tahu kemudian Pak Luhut kontak teman-teman beliau untuk bersama-sama membantu membeli alat PCR ini. 

Disinilah kemudian proses pencarian PCR ini kita mulai…

Saya kontak dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Udayana, dan Universitas Sumatera Utara (USU). Saya mengirimkan pesan whatsapp kepada mereka dan menjelaskan maksud dan tujuan saya untuk mendonasikan alat PCR ini. Beberapa ada yang merespons dengan cepat, namun beberapa ada yang tidak merespon sama sekali, mungkin dianggapnya prank kali ya (hehehe).

Para dekan tersebut kemudian mengenalkan saya kepada penanggung jawab (PIC) masing-masing. Di sinilah kemudian saya mengenal dr Anis yang menjadi wadek FKUI, dr Lia dari unpad, dr Happy dari undip, Prof Inge dari Institute of Tropical Disease Unair, dr Lia dari USU (ada dua Lia, satu dari USU, satu lagi dari Unpad), dan Prof Ova dari UGM. Mereka itulah yang kemudian mengajarkan saya lebih detail mengenai test PCR ini, alat-alat apa saja yang diperlukan, serta rekomendasi merek yang bagus. Berdasarkan diskusi dengan mereka, waktu itu diputuskan bahwa kita akan beli alat PCR dari Roche.

Order untuk alat PCR Roche kita lakukan di akhir Maret 2020. Dalam perjalanannya, saya kemudian bertemu dengan Pak Budi Sadikin, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada saat itu. Beliau rupanya juga diperintahkan Pak Menteri BUMN Erick Thohir untuk mencari alat PCR ini guna rumah sakit-rumah sakit BUMN. Jadi dibandingkan nanti kita rebutan alat PCR, saya menawarkan ke Pak Budi supaya kita pesen bareng-bareng ke Roche, sehingga ordernya bisa lebih besar dan harapannya tentu saja kita bisa nawar harga yang lebih baik.

Pada akhir April 2020, alat-alat PCR ini mulai datang dan kita mulai distribusikan ke Fakultas-Fakultas Kedokteran yang saya sebutkan diatas. Itupun berkat lobi sana sini dari Kemenlu, Kementerian BUMN, dan berbagai pihak lain yang dilakukan untuk meminta Roche agar barang yang sudah kita pesan tidak di rebut negara lain. Karena kita mendengar ada 1 negara timur tengah yang sudah menyediakan 100 juta dolar dan bersedia membayar cash didepan untuk membeli alat-alat PCR yang tersedia di pasar saat itu.

Setelah alat datang, bukan berarti barang bisa langsung digunakan, karena kita harus menunggu reagen PCRnya datang. Awal Mei reagen-nya kemudian baru datang. Masalah belum selesai, para lab itu kemudian juga menyampaikan bahwa mereka butuh Viral Transport Medium (VTM). Saya tanya ke mereka barang apapula itu? Mereka menjelaskan bahwa VTM ini adalah alat untuk menampung hasil swab yang akan mendeaktifkan virusnya sebelum kemudian bisa dilakukan ekstraksi RNA. 

Rupanya banyak sekali perintilan material-material yang dibutuhkan untuk melakukan test PCR ini, bukan hanya reagen saja. Dimana klo salah satu barang gak ada, test PCR tidak bisa dilakukan. Long story short berbagai perintilan barang itu bisa kita dapatkan dan lab-lab di berbagai fakultas kedokteran itu bisa mulai melakukan test. Namun karena proses ekstraksinya masih manual, masing-masing lab paling hanya bisa melakukan 100-200 test per hari. Jauh dari target yang kita minta yaitu 700-1000 test perhari.

Masalah kemudian muncul karena alat ekstraksi RNA yang kita pesan dari Roche tidak bisa didapatkan. Kalau tidak salah karena suplai barangnya sangat terbatas dan diperebutkan oleh negara-negara lain juga. Kita waktu itu memutuskan untuk cari merek lain. Setelah tanya-tanya dari masing-masing lab, dapatlah rekomendasi merek Qiagen dari Jerman. Kita pesan barangnya, namun ternyata mereka tidak bisa memenuhi reagen-nya. Alat ekstraksi RNA ini memang menggunakan closed system, artinya hanya bisa digunakan dengan reagen yang diproduksi mereka sendiri.

Selama beberapa bulan, lab-lab itu masih menggunakan ekstraksi RNA secara manual untuk test PCRnya. Saya bersama beberapa teman akhirnya putar otak ke Tiongkok, kita carilah alat ekstraksi RNA dan reagennya. 

Setelah tanya sana sini, dapatlah satu perusahaan yang merupakan afiliasi salah satu universitas di sana. Jadi semacam badan usahanya yang bergerak dibidang bioteknologi. Alat ekstraksi RNAnya harganya lebih murah, kira-kira 1/10 dari harga alat ekstraksi yang diproduksi Qiagen, meskipun kapasitasnya 1/3. Begitu juga harga reagen untuk ekstraksi RNA nya. Yang lebih menarik, mereka juga memproduksi reagen untuk PCR yang bisa digunakan baik dari LC 96 dan LC480 (kedua alat ini adalah open system). 

Dengan suplai dari Tiongkok ini, kita bisa memberikan donasi lebih banyak alat PCR dan ekstraksi RNA kepada lab-lab kampus itu. Awal Juni, barang-barang ini mulai datang ke Indonesia.

Sebelum kita memutuskan beli, kami meminta FKUI untuk melakukan pengujian terhadap barang-barang ini. Hasilnya diluar dugaan kami cukup baik. Alat ekstraksi RNA nya mudah digunakan, dan bisa melakukan ekstraksi dalam waktu 1 jam. Reagen PCRnya pun ternyata memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan yang beredar dipasaran pada waktu itu.

Ketika di awal, kami sampaikan kepada lab-lab ini bahwa kita hanya akan men-support mereka dengan alat PCR dan Alat Ekstraksi RNA beserta reagen-reagennya untuk 10.000 test buat masing-masing lab. Ini berdasarkan kecukupan donasi yang Pak Luhut dan teman-temannya sumbangkan. Namun, karena kita menemukan suplai baru dari Tiongkok yang saya sebutkan diatas, kita bisa mensupport untuk lebih banyak reagen. 

Pak Luhut kemudian juga menerima telepon dari teman-teman beliau di Tiongkok yang mau menyumbang untuk penanganan COVID-19 di Indonesia, sehingga kita bisa memperoleh lebih banyak reagen. Satu lab saat itu saya kira bisa menerima 30.000-50.000 reagen PCR dan ekstraksi RNA untuk melakukan test ini. Setelahnya, kami minta lab-lab tersebut harus bisa mandiri. Kita tidak bisa men-support seterusnya karena donasi yang terbatas.

Mengapa sih saya cerita panjang lebar seperti di atas? Pertama, saya ingin menceritakan kepada teman-teman bagaimana susahnya situasi dan keterbatasan test PCR saat itu. Kedua, banyak pihak yang bergotong royong untuk membantu pemerintah meningkatkan kapasitas PCR saat itu. 

Kementerian BUMN, melalui perintah Pak Erick dan Pak Budi Sadikin, membeli cukup banyak alat PCR saat itu. Lalu Pak Luhut dan teman-temannya juga memberikan donasi yang nilainya cukup besar untuk meningkatkan kapasitas PCR di banyak fakultas kedokteran di Indonesia, dan saya yakin banyak pihak lain yang juga berusaha keras untuk membantu dengan berbagai cara supaya kapasitas test COVID-19 melalui PCR di Indonesia pada waktu itu bisa ditingkatkan. Kami tidak ada memikirkan untung-rugi waktu itu.

Kelahiran Lab GSI

Dalam perjalanan kami mencari alat PCR untuk donasi ke para lab di kampus-kampus saat itu, salah satu teman Pak Luhut mengajak untuk ikut berpartisipasi dalam pendirian lab test COVID-19 yang memiliki kapasitas tinggi (5000 test/hari) dan bisa melakukan genome sequencing (belakangan ini kemudian sangat berguna untuk mendeteksi varian delta dan layanan ini diberikan gratis kepada Kemenkes untuk mendeteksi varian baru). 

Usul saya ke Pak Luhut, kita ikut berpartisipasi untuk pendirian lab ini. Maka tanpa pikir panjang, Pak Luhut menyampaikan ke saya, “Kita bantu lah To mereka ini." Akhirnya melalui Toba Sejahtera (yang memiliki dana untuk kebutuhan ini), Pak Luhut ikut mendukung pendirian lab tersebut. Maka lahirlah Lab GSI, setelah itu, kami tidak monitor lagi mengenai GSI ini.

Jujur ketika Jodi (Jubir Pak Luhut) mengirimkan WA pertanyaan dari Tempo mengenai keterkaitan GSI dan Pak Luhut, saya laporkan mengenai hal ini ke Pak Luhut.  Beliau sempat tanya ke saya, “Emangnya Toba Sejahtera punya saham di GSI To?”. Beliau tidak ingat rupanya. Saya menjelaskan kronologis yang saya ingat waktu itu. Pak Luhut lalu meminta saya dan jodi menjelaskan kepada Tempo sesuai dengan fakta yang ada.

Kemudian, terjadilah kehebohan setelah liputan Tempo itu keluar. Tuduhannya adalah mengenai kebijakan kewajiban PCR bagi pesawat yang diberlakukan beberapa Minggu yang lalu hanya menguntungkan Pak Luhut dan Pak Erick secara pribadi. 

Izinkan saya menjelaskan dari perspektif saya:

Mengapa kewajiban test PCR ini diberlakukan kepada penumpang pesawat di tengah kasus yang menurun ?

Kebijakan ini saya dan teman-teman di tim usulkan berdasarkan data yang menunjukkan ada peningkatan resiko penularan. Nah, 1-2 minggu sebelum kebijakan PCR untuk penumpang pesawat ini diberlakukan, kita melihat ada peningkatan resiko tersebut. Indikator mobilitas yang kami gunakan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Contohnya, di Bali, data mobilitas minggu ketiga Oktober 2021 menunjukkan level yang sama dengan liburan nataru tahun 2020. 

Lalu, hasil pengecekan tim yang kami kirim, terjadi penurunan disiplin protokol kesehatan yang luar biasa. PeduliLindungi hanya sebagai pajangan, terutama di tempat-tempat wisata dan bar. Bahkan salah satu tim saya berhasil memfoto pasangan yang bebas berciuman didalam salah satu bar/café di Bandung.

Sebagai background, pada awal Juli 2021 ketika Pak Luhut diperintahkan untuk menangani peningkatan kasus di Jawa Bali, Pak Luhut meminta kami mendesain metode penanganan yang paten. Saya dan beberapa teman-teman kemudian mengontak Prospera untuk membantu kami membuat leading indicator untuk memonitor perkembangan kasus. 

Ada 3 indikator yang kita gabungkan menjadi indeks komposit, yaitu Google Traffic, Facebook Mobility dan NASA Nightlight Index. Intinya 3 indikator tersebut mencerminkan aktivitas masyarakat. Kalau aktivitas masyarakat masih tinggi, maka penambahan kasus tidak akan menurun. Hasil pengujian secara statistic, butuh waktu 14-21 hari untuk penambahan kasus bisa menurun sejak indeks komposit turun. 

Kita harus belajar dari negara-negara lain yang mengalami peningkatan kasus yang luar biasa akibat varian Delta, akibat relaksasi aktivitas dan protokol kesehatan karena merasa tingkat vaksinasi dosis kedua sudah diatas 60%. Contohnya seperti Singapura, Jerman, Inggris dan beberapa negara lain.  

Tujuan Sosial

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Tingkat vaksinasi dosis 2 Indonesia saat ini baru sekitar 36%, dan kita sudah melakukan relaksasi aktivitas masyarakat secara luas. Mengapa kita berani melakukan relaksasi ini? Karena kita imbangi dengan protokol kesehatan yang ketat dan testing serta tracing yang tinggi, serta relaksasi kita lakukan secara gradual sejak agustus sampai dengan saat ini. Namun, ketika saat ini kita melihat protokol kesehatan sudah menurun signifikan tentu saja kami melihat ada peningkatan risiko kenaikan kasus.

Vaksinasi tidak sepenuhnya bisa mencegah penularan kasus. Mudah untuk mengambil kesimpulan ini, karena negara-negara yang saya sebutkan di atas memiliki cakupan dosis 2 diatas 60%, and kasus COVID-19 mereka meningkat signifikan. Vaksinasi akan mengurangi risiko Anda jika terkena COVID-19 harus dirawat di RS, muncul gejala atau bahkan kematian. Anda masih bisa terkena COVID-19, tidak bergejala, dan masih menularkan ke pihak lain, meskipun sudah divaksin. Ada banyak riset ilmiah yang mendukung hal tersebut.

Alasan-alasan tersebut di atas sebenarnya sudah saya dan Jodi berikan ke Tempo, baik dalam bentuk Ms Word maupun Powerpoint, lengkap beserta chart dan riset ilmiah. Namun entah mengapa Tempo tidak menampilkan dalam liputannya.

Kalau memang ingin membantu penanganan pandemi, mengapa harus mendirikan GSI yang berbentuk PT yang orientasinya mencari keuntungan? Kenapa tidak yayasan saja? 

Bantuan yang sifatnya donasi sudah dilakukan Pak Luhut dan teman-temannya melalui donasi alat PCR, ekstraksi RNA, reagen dan beberapa alat lab lainnya ke fakultas kedokteran. Namun, karena sifatnya donasi, yah kita hanya bisa membantu sesuai dengan dana donasi yang dikumpulkan. Setelah itu harus mandiri.

GSI, sesuai Namanya Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), didirikan dengan semangat solidaritas untuk membantu penanganan pandemi. Sifatnya lebih social entrepreneurship. Jadi keuntungan yang diperoleh GSI digunakan kembali untuk tujuan sosial, seperti memberikan PCR gratis untuk yang tidak mampu, nakes, ataupun orang2 yang di wisma atlit. Mereka bahkan juga membantu Kemenkes untuk melakukan genome sequencing secara gratis untuk mendeteksi varian delta. Model ini lebih sustainable karena tidak mengandalkan donasi.

Adanya Pak Luhut di GSI menimbulkan potensi conflict of interest karena Pak Luhut adalah Koordinator PPKM Jawa Bali.

Pak Luhut ditunjuk koordinator PPKM Jawa Bali pada Juli 2020, jauh setelah pendirian GSI. Alasan penggunaan PCR untuk penumpang pesawat juga diberlakukan karena alasan pada poin 1 di atas, karena peningkatan resiko kasus. Lalu, pada September ketika tren kasus mulai menurun diiringi dengan pelaksanaan prokes yang baik, kami juga mengusulkan menurunkan syarat untuk penumpang pesawat dari PCR menjadi antigen asalkan mereka sudah 2x vaksin. 

Kalau memang Pak Luhut ingin menguntungkan GSI, buat apa syarat tersebut diubah? Sebagai tambahan, di kantor kami, biasanya PCR atau antigen dilakukan oleh Medistra, RS Pertamina, RS Bunda, dan SpeedLab. Tidak pernah GSI. 

Di dalam perjanjian pemegang saham GSI, ada ketentuan bahwa 51% dari keuntungan harus digunakan kembali untuk tujuan sosial. Oleh karena itu, sampai detik ini tidak ada pembagian keuntungan seperti dividen kepada pemegang saham. Hasil laba yang lain digunakan untuk melakukan reinvestasi terhadap peralatan atau kelengkapan lab yang lain (salah satunya adalah untuk melakukan genome sequencing). Perlu diketahui, ketika diawal operasi GSI ini menggunakan fasilitas tanah dan bangunan secara gratis yang diberikan oleh salah satu pemegang saham.   

Memang saya akui saya kurang hati-hati dalam mengingatkan Pak Luhut terkait dengan saham GSI sehingga muncul potensi conflict of interest ini buat pak Luhut (jujur saya sendiri juga lupa kalau Toba Sejahtera berpartisipasi di GSI). Tapi memang kondisi pada saat GSI didirikan saat itu membutuhkan keputusan yang cepat terkait peningkatan kapasitas test PCR ini. 

Kemudian, ketika Pak Luhut menjadi koordinator PPKM Jawa Bali, setiap keputusan yang diambil didasarkan kepada usulan kami atas analisis data dan situasi, sehingga kondisi COVID-19di Jawa Bali bisa lebih baik. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam hati saya terkait hal ini. Tidak ada satupun keputusan yang diambil oleh Pak Luhut yang kami usulkan, karena mengedepankan kepentingan GSI, termasuk usulan mengenai PCR untuk penumpang pesawat. 

Sebenernya saya malas mengungkapkan donasi atau bantuan-bantuan yang diberikan oleh Pak Luhut dalam penanganan Pandemi. Saya selalu ingat pesan Pak Luhut, kalau kita melakukan kebaikan dan bantuan gak perlu diingat-ingat, supaya kita tidak merasa memiliki budi kepada orang lain. Tapi kalau kita melakukan hal yang buruk, harus diingat supaya kita tidak mengulangi.

Namun, dalam kasus GSI ini, saya merasa framing-nya dan tuduhannya terlalu gila. Sehingga saya perlu menuliskan cerita dari sisi kami atas apa yang terjadi.  Dampak yang disebabkan oleh Varian Delta pada bulan Juli adalah pengalaman yang menyakitkan buat kami, dan saya yakin juga buat bangsa ini.  Kami menerima WA dari sodara, kerabat, rumah sakit dan teman  yang meminta tolong untuk dicarikan kamar rumah sakit atau oksigen, hanya kemudian mendapatkan kabar bahwa pasien yang bersangkutan harus meninggal karena tidak mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan. Sangat menyakitkan buat saya pribadi.

Jadi, ketika kami melihat ada resiko peningkatan kasus, kami ingin ada langkah preventif, bukan reaktif seperti yang dilakukan sebelumnya. Karena kalau ada peningkatan kasus dan harus ada pengetatan macam PPKM Darurat, biayanya sangat besar. Hasil hitungan kami, biaya langsung untuk perekonomian setiap 1 minggu dilakukan PPKM Darurat, adalah sekitar Rp5,2 triliun. Itu belum termasuk korban jiwa yang tidak bisa dihitung secara moneter.

Terkait harga PCR, menurut saya tidak bisa dibandingkan situasi saat ini dan situasi pada awal-awal pandemi, bagaimana susahnya mencari alat PCR, ekstraksi RNA, reagen, sampai harus rebutan dengan negara lain. Saat ini kondisi suplainya jauh lebih baik, sehingga ketersediaan alat dan reagen lebih banyak dan lebih murah.

Selain itu, terkait harga PCR, hal tersebut bukan wewenang Pak Luhut dalam memutuskan. Evaluasi dilakukan secara berkala oleh Kemenkes dan BPKP. Semuanya melalui proses pemeriksaan di BPKP untuk kemudian memberikan masukan kepada Kemenkes lalu kemudian diputuskan.

Penjelasan ini ditujukan agar publik memahami konteks yang terjadi dari sisi kami. Selain itu, Kondisi dahulu jauh berbeda dengan sekarang. Mohon jangan melupakan sejarah yang ada.

 

Penulis : Septian Hario Seto

(Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan)