Selasa, 31 Januari 2023 09:52 WIB
Penulis:Pratiwi
SURABAYA (sijori.id) - Seiring tingginya potensi budidaya udang di Indonesia yang telah didukung ketersediaan lahan hingga iklim yang sesuai, nyatanya masih banyak tantangan menghalangi produktivitas budidaya udang selama satu tahun ke belakang. Karena itu, guna memberi acuan perencanaan yang lebih matang dalam berbudidaya udang di 2023, JALA sebagai solusi end-to-end budidaya udang senantiasa memberikan informasi dan refleksi berbasis data terkait perkembangan budidaya udang. Hal ini yang menjadi pembahasan dari diskusi “Shrimp Outlook 2023: Kondisi Industri Udang Indonesia di Tahun 2022 dan Solusi untuk Tahun 2023".
Kegiatan yang terselenggara selama dua hari ini terdiri dari dua kegiatan utama, antara lain diskusi panel dan shrimp outlook. Peserta kegiatan terdiri dari berbagai kalangan mulai dari perwakilan pemerintah, komunitas, petambak udang, hingga pakar yang membahas mengenai perkembangan dan masalah di budidaya udang sepanjang tahun.
Dari temuan JALA1, nyatanya terdapat penurunan produktivitas udang dari yang sebelumnya mencapai 11,97 ton/ha pada 2019 menjadi 10,5 ton/ha pada 2022. Hal ini juga tercermin dari performa Survival Rate (SR) yang juga mengalami penurunan, yang mana pada 2021 nilai rata-rata mencapai 68,64% sedangkan pada 2022 hanya di angka 55,83%. Meski demikian, terdapat kenaikan angka ekspor udang dari 187.726 menjadi 200.975 ton tahun ini. Lewat temuan tersebut, JALA memprediksi adanya peningkatan produksi dengan terus mendampingi petambak udang Indonesia.
Liris Maduningtyas selaku CEO JALA menjelaskan berbagai faktor yang mempengaruhi budidaya untuk bisa diimprovisasi, “Kami melihat 2022 menjadi tahun yang penuh tantangan karena adanya berbagai kendala seperti menurunnya harga yang diakibatkan penurunan permintaan hingga tingkat produktivitasnya itu sendiri. Menanggapi adanya fluktuasi harga tersebut, penting bagi para petambak untuk fokus mempertahankan produktivitas budidaya agar tetap maksimal dan mengamankan margin keuntungan dengan memperhatikan berbagai komponen, seperti waktu dan durasi panen hingga upaya konversi pakan udang. Lewat penyediaan ekosistem digital yang disediakan JALA di sepanjang rantai industri, kami dapat mendapatkan informasi penting untuk pengembangan udang dari mulai pra-produksi hingga pasca-panen. Karena itu, kami berharap bisa terus bangun ekosistem integratif dalam penyediaan solusi untuk seluruh pihak yang terlibat dalam industri udang yang pada akhirnya dapat memajukan industri udang di Indonesia.”
Dari tren tahun sebelumnya, terdapat indikasi penurunan durasi budidaya sejak pertengahan tahun akibat harga udang yang anjlok, yakni memasuki April dan pertengahan September. Hal ini disebabkan karena adanya faktor cuaca dalam memulai budidaya. Jika tanpa memperhatikan waktu mulai budidaya, produktivitas terbaik diperoleh dari panen yang disebar dari dimulai pada Januari dan Februari. Dari situ, umur budidaya relatif bisa lebih panjang dan capaian parameter produktivitas seperti SR, Feed
1 Sample diambil dari aplikasi JALA yang dimasukan petambak dalam rentan 1 Januari 2019 hingga 31 Desember 2021. Adapun siklus budidaya yang dijadikan fokus adalah siklus yang selesai pada 2022
Conversion Ratio (FCR), dan size panen lebih baik dibandingkan budidaya yang dimulai bulan-bulan lain termasuk pada bulan dengan curah hujan rendah.
“Menanggapi adanya anjlok dalam harga udang, petambak sebaiknya tenang dan fokus mempertahankan produktivitas budidaya agar tetap maksimal. Efisiensi budidaya pun harus tetap dijaga supaya dapat mengamankan margin keuntungan. Strategi untuk panen di size panen dengan harga yang relatif stabil dapat diterapkan agar tidak membebani ongkos produksi. Udang dengan size besar memang menghasilkan harga jual semakin tinggi, tetapi kondisi ini menunjukkan udang besar hanya memiliki selisih yang tidak sebanding dengan ongkos produksi,” jelas Liris.
Selain itu, penyakit udang kerap menjadi tantangan yang nyata dan menakutkan bagi industri udang. Hal ini tentu bisa mengalami kerugian. Sidrotun Naim selaku shrimp health specialist menjelaskan, “Dari temuan, kami melihat beberapa penyakit udang memiliki adanya tren peningkatan maupun penurunan. Beberapa yang mengalami peningkatan yakni IMNV hingga WSSV. Adapun yang menurun yakni AHPND. Terkait waktu ideal mengidentifikasi penyakit ini, penting para petambak melakukan pengecekan sedini mungkin agar proses budidaya bisa dimulai dengan benar dan bebas penyakit.”
Naim juga menekankan akan pentingnya melakukan pengecekan secara berkala. “Kita tidak bisa bicara dengan udang, apakah udang sedang sakit atau tidak,” ungkap Naim. Selain itu, Naim juga menyarankan perlakuan terhadap udang sesegera mungkin akan sangat membantu dalam menghadapi penyakit. Deteksi penyakit udang juga akan lebih akurat jika dilakukan di laboratorium.
Mengomentari industri udang belakangan ini, Supito selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara sekaligus perwakilan dari KKP menekankan pentingnya budidaya udang dengan pengendalian lingkungan, “Agar budidaya bisa terus berjalan secara berkelanjutan, peningkatan produksi udang sebaiknya diimbangi oleh pengendalian lingkungan. Kami pun menargetkan memproduksi 2 juta ton udang. Karena itu, kami memiliki program utama demi meningkatkan produksi, seperti revitalisasi dan modeling. Tentunya pemerintah tidak bisa bergerak sendiri. Penting adanya peran para pelaku untuk jadi mitra. Kami berharap pelaksanaan tambak dari hilir ini bisa terintegrasi. Kami bangga hadirnya JALA bisa membuat petambak semakin mudah dan terdigitalisasi sehingga datanya bisa terkumpul dengan baik.”
Sebagai organisasi tempat berkumpulnya pembudidaya udang di Indonesia yang diisi oleh praktisi berpengalaman, kehadiran organisasi seperti Shrimp Club Indonesia (SCI) juga memiliki posisi penting guna memformulasikan langkah regulasi hingga teknis untuk menghadapi tantangan dan budidaya udang di Indonesia. Karena itu, setiap pembudidaya udang diharapkan bisa terus terhubung dan bertukar pemikiran untuk menghadapi segala permasalahan di industri udang.
Haris Muhtadi selaku Ketua Umum SCI mengatakan, "Posisi Indonesia saat ini menurun menjadi produsen ke-5 tertinggi di dunia, yang mana posisi pertama diduduki oleh Ekuador. Jika berkaca pada tantangan secara global, kini banyak bermunculan para pemain baru di Amerika Latin hingga rendahnya daya beli yang disebabkan krisis energi hingga menekan harga udang global. Di negara sendiri pun, beberapa kendala yang sering dialami adalah terkait penyediaan benih berkualitas dan juga tingginya biaya produksi. Guna menghadapi industri dinamika udang tersebut, kami di SCI terus menghadirkan berbagai program, salah satunya terus berbagi ilmu dan teknologi pada anggota. Adanya digitalisasi senantiasa menjadi future promise di industri ini demi memberikan data yang reliable dan akurat. Pada akhirnya, hal ini dapat memudahkan kerja para petambak."
Bagikan